Jumat, 22 Mei 2009

Media Indonesia: Menjadi Profesional Lewat Pendidikan Non-Formal

Kemampuan mereka di lapangan bahkan melebihi sarjana jebolan perguruan tinggi. Padahal mereka cuma mengikuti pendidikan nonformal, semacam workshop atau seminar-seminar. Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, sekarang telah masuk ke era informasi. Era industri telah berlalu. Di era ini, menurut Robert T Kiyosaki, pendidikan formal memang penting, termasuk mendapat gelar. Namun di era reformasi, kata Robert dalam bukunya Rich Dad Poor Dad, pengetahuan yang diperoleh melalui seminar atau pendidikan nonformal jauh lebih berharga daripada pendidikan formal.

Lalu gelar tidak penting? Untuk mendaftar menjadi pegawai negeri dan pegawai swasta, kata Andrias Harefa, penulis puluhan buku best seller yang ‘gagal’ menjadi sarjana, jelas perlu. “Gelar tetap diperlukan untuk kerja kantoran,” katanya kepada Media Indonesia di Jakarta kemarin. Namun, kalau kerjanya seperti Bill Gates (pendiri Microsoft Corp), Michel Dell (pendiri Dell Inc), Sabeer Bhatia (pendiri Hotmail), Steve Jobs (pendiri Apple Inc), dan Mark Zuckerberg (penemu Facebook), menurut Andrias Harefa, gelar tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Harefa mengatakan, untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan sangatlah baik jika seseorang bisa belajar sampai ke perguruan tinggi. Namun, kalau tidak bisa sebaiknya tetap dan mesti berjuang untuk belajar. “Manfaatkan saja berbagai media komunikasi yang ada (baik cetak, maupun elektronik),” katanya.

Siap belajar
Menurut Harefa, tugas perguruan tinggi utamanya adalah melahirkan sarjana-sarjana yang siap belajar, bukan siap pakai. “Kalau mereka siap belajar, mereka dapat dengan cepat belajar untuk menjadi siap pakai atau siap kerja,” ujar Harefa. Harefa melihat belakangan ini ada kecenderungan bahwa gelar ‘bertarung’ dengan sertifikasi dan lisensi dalam bidang spesifik. Jika memang kenyataannya demikian, lanjutnya, nilai gelar akademisnya mengalami kemerosotan terus menerus dengan terbukanya informasi lewat teknologi yang makin ramah.

Guna memberikan ‘ilmu’ bagi mereka yang ingin menempuh pendidikan nonformal, Andrias Harefa membuka workshop penulisan. Visi-misinya adalah melahirkan apa yang disebutnya sebagai ‘guru-guru model baru’, yakni penulis yang produktif dan berkarakter. Ada tiga jenjang dalam workshop-nya, yaitu menulis artikel menarik; menulis buku best-seller; dan menulis buku best-seller dengan gaya pribadi. Setiap jenjang berlangsung dua hari.

Investasi atau biaya per workshop Rp. 2.950.000. Tanpa gelar—ia pernah kuliah di Universitas Gajah Mada—Andrias Harefa memulai karirnya sebagai writerpreneur (1988-1990). Lelaki keturunan Nias yang lahir di Curup Bengkulu ini kemudian menjadi professional trainer berlisensi Dale Carnegie Training (1990-1998). Selepas itu, ia mendedikasikan hidupnya untuk apa yang disebutnya sebagai Visi Indonesia 2045; Indonesia menjadi salah satu dari lima negara paling maju di dunia pada 2045.

Pendidikan Komunikasi
Sukses sebagai presenter, Charles Bonar Sirait bersama kawan-kawannya juga membuka pendidikan nonformal yang bergerak di bidang komunikasi, Publicom. Lewat lembaga itu, Charles memberikan pelatihan bagaimana menjadi pembaca acara (MC) dan pembicara publik yang professional.
Lama pendidikan bervariasi ada yang satu hingga tiga bulan. Dia membuka lembaga pendidikan ini, “Sebab, komunikasi sangat penting untuk menunjang karier seseorang, baik mereka yang berprofesi sebagai professional maupun marketer, “ ujarnya. Ke depan, Charles bahkan berniat membuka lembaga pendidikan nonformal di bidang yang tidak saja mengajari peserta didik untuk mengenal public speaking, tapi juga writing. Itu berarti ilmu komunikasi yang diajarkan di perguruan tinggi formal, juga diajarkan di lembaganya. Bedanya, lembaga pendidikan nonformal umumnya lebih banyak berpraktik daripada berteori. Dalam memberikan pendidikan dan pelatihan, menurut Charles, 80% praktik dan 20% teori. Bukankah di lapangan pasar lebih banyak menuntut seseorang menguasai praktek daripada teori?

Layaknya pendidikan formal, mutu pengajaran juga sangat ditekankan pada lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Sebagian besar pengajar adalah para praktisi di bidangnya. Dalam soal itu, Harefa sudah punya modal. Dia telah menulis puluhan buku dan banyak diantaranya yang best seller. Peserta didik tentu akan mantap belajar di lembaganya jika Andrias mengajarkan bagaimana kiat menjadi penulis andal sehingga kelak kalau menulis buku bisa best seller. Begitu pula Charles dua buku sudah ditulisnya. Buku pertama berjudul The Power of Public Speaking, dan buku kedua Kiat Cerdas Berkampanye di Depan Publik. Dua-duanya diterbitkan Gramedia Pustaka. Nah, peluang untuk mencari ilmu dan ketrampilan terbentang luas, tidak hanya melalui pendidikan formal, tapi juga nonformal. Silakan pilih sesuai dengan minat. (Gty/S-3/Harian Media Indonesia, Sabtu 14 Maret 2009 Hal 19)


Sumber : (http://www.andriasharefa.com/media-indonesia-menjadi-profesional-lewat-pendidikan-non-formal-3/2009/03)

1 komentar:

tips menulis buku mengatakan...

Tidak hairan keinginan untuk menulis buku kini kian meluas. Ada yang begitu prolifik dan menghasilkan sehingga melebihi lima buah buku dalam setahun. Di Malaysia, ketika jumlah buku dan penulis tidak begitu banyak, penulis dapat menganggap diri mereka bertuah kerana mempunyai bakat dan kemahiran untuk menulis.