HARI-HARI belajar Daniel, bisa dibilang, lebih banyak dilakukan di luar sekolah. Ketika anak-anak sebayanya giat ke sekolah, bocah lelaki yang berdomisili di sebuah kota kecamatan terpencil di Papua ini malah kerap terlihat ”nongkrong” di warung internet (warnet) tak jauh dari rumahnya. Jangan salah, kesibukannya di warnet bukannya giat bermain game, melainkan tekun menimba ilmu layaknya anak-anak di sekolah.
Kendati cara belajarnya tergolong unik, tapi prestasi anak 11 tahun itu bisa diandalkan. Sesuai usianya, nyatanya, tingkat pendidikan Daniel saat ini setara dengan teman-teman sebayanya yang duduk di kelas lima sekolah dasar (SD). Benar. Daniel tengah menekuni pola belajar yang menerapkan sistem pendidikan jarak jauh. Sejatinya, bocah ini tercatat sebagai salah satu siswa FISHomeschool, yakni lembaga pendidikan home schooling yang berpusat di Serpong, Tangerang, Banten.
Bagi Daniel, menjadi siswa home schooling sebenarnya merupakan pilihan orang tuanya. Mereka berpandangan model pendidikan jarak jauh seperti itu lebih praktis dan efektif. Soalnya, bila bersekolah di jalur formal, ia harus mendaftar ke sekolah di daerah lain yang berjarak amat jauh dari tempat tinggal. Perjalanannya (pulang-pergi), bahkan bisa memakan waktu satu hari.
Ndilalahnya pula, program home schooling dinilai amat cocok buat anak-anak yang cenderung memiliki mood belajar yang agak berbeda. Misalnya saja di kalangan anak-anak yang memiliki kelebihan talenta di bidang tertentu, seperti artis dan atlet cilik. Berkat adanya program belajar seperti ini, mereka jadi lebih leluasa menentukan waktu ”sekolah” yang tak mengganggu kegiatan profesinya.
Oleh karena itu, rupanya, banyak orang tua termotivasi menyekolahkan anak-anaknya lewat program pendidikan serupa FISHomeschool Indonesia. Trennya pun terus mengalir, bahkan cenderung meningkat. Menurut catatan Diana, sekitar 5% dari total penduduk Indonesia memang membutuhkan pendidikan seperti ini. Tapi sayang, home schooling yang ada cenderung baru menjangkau mereka yang tinggal di kota-kota besar. Keberadaannya diperkirakan baru menyerap setengah dari potensi yang ada. ”Saya berkeyakinan sistem pendidikan ini akan makin dibutuhkan,” ujar Diana.
Atas dasar itu, terbuka peluang sangat lebar bagi mereka yang berminat menekuni bidang ini. Apalagi jika dikelola dengan baik, tak tertutup kemungkinannya bisa berkembang menjadi ladang bisnis berprospek cerah. Peluang itu, antara lain, layaknya tawaran kerja sama—dengan model waralaba—dari FISHomeschool Indonesia.
Keunggulan yang dimiliki FISHomeschool Indonesia, menurut Diana, merupakan home schooling yang menggunakan sistem online pertama di negeri ini. Dengan sistem ini, pendidikan dimungkinkan diselenggarakan di mana saja sesuai dengan domisili para siswa—layaknya yang dialami oleh Daniel. Selain itu, kurikulum yang dikembangkannya berasal dari Amerika, ”Tapi, sudah disesuaikan dengan sistem pengajaran di Indonesia,” katanya. Jenjang pendidikannya pun seperti yang berlaku umum, yakni mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA.
Nah, yang berminat menyambut tawaran kerja sama itu, tentunya harus menyiapkan sejumlah dana yang besarannya berkisar Rp 70 juta (untuk kota kecamatan) sampai Rp 250 juta (kota kabupaten). Investasi sebesar itu, murni untuk membeli hak waralaba, alias belum termasuk biaya pengadaan sarana pendukung yang berkisar antara Rp 20 juta-Rp 30 juta (sewa tempat serta pengadaan peralatan kantor).
PEMINATNYA CUKUP TINGGI
Khususnya bagi kalangan investor di tingkat kabupaten, uniknya, mereka juga memiliki hak menjual waralabanya di tingkat kecamatan dengan tarif yang jauh lebih murah, yakni berkisar Rp 30 juta-Rp 50 juta. Strategi ini perlu dilakukan, antara lain, untuk mendorong para sub-franchise lebih giat menjaring anggota. Dari pemasukan sebesar itu, mereka berkewajiban menyetor 25%-nya kepada master franchise (FISHomeschool Indonesia).
Sementara, sumber pendapatan yang diperoleh investor, antara lain, dari uang pangkal (Rp 500 ribu) dan iuran bulanan (Rp 100 ribu-Rp 125 ribu) yang dipetik dari setiap siswa. Dari uang pangkal itu, investor akan memperoleh hak sebesar 30%, sedangkan dari iuran bulanan 50%. Selain itu, mereka juga masih berpeluang memetik penghasilan tambahan, di antaranya dari menyediakan guru pembimbing (tutor) yang diminta para siswa. Untuk itu, setiap siswa akan dikenakan biaya tambahan berkisar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per bulan—yang seluruhnya (100%) menjadi hak investor.
Bila melihat prospeknya yang tergolong cerah, tampaknya para investor patut bersuka cita bahwa usahanya akan berjalan lancar. Setidaknya, cukup menjaring lima siswa dalam sebulan, berdasarkan hitung-hitungannya, mereka akan mulai menikmati keuntungan setelah program berjalan selama 30 bulan.
Kalaupun target minimal itu tak tercapai, mereka tak perlu khawatir modal yang telah ditanam akan hangus percuma. Hal itu mustahil terjadi karena ada garansi yang dijanjikan prinsipalnya, yakni akan mengembalikan 100% dana yang telah ditanamkan pihak investor, bila dalam jangka waktu 2,5 tahun (30 bulan)—setelah program berjalan—modal yang telah ditanamkan tidak kembali. Menarik kan?
Hingga kini—sejak dipasarkan bulan lalu—animo calon investor begitu tinggi. Simak saja permohonan yang sampai di meja penyelenggaranya, setiap hari menerima rata-rata 20 proposal yang dilayangkan calon investor yang berminat.
Di sisi lain, manfaat bagi para siswa, dijamin tak kalah dengan program pendidikan yang diselenggarakan di sekolah formal. Seperti diakui oleh Ace Suryadi, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, kualitas lulusan home schooling ternyata tak berbeda dengan lulusan sekolah biasa. Buktinya, sudah banyak di antara mereka yang berhasil diterima di berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Karena itu pula, rupanya, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)—yang saat ini tengah menyiapkan sistem pendidikan khusus program home schooling—mulai mendorong banyak pihak agar menyelenggarakan program serupa. Selain efektif, model pendidikan home schooling juga dinilai cocok membantu menyukseskan program wajib belajar.
Untuk diketahui, sistem yang diberlakukan FISHomeschool Indonesia selama ini, selain uang pangkal, lazimnya juga akan mengutip iuran bulanan selama satu tahun (10 bulan) di muka. Setelah semua kewajiban dilunasi, para siswa akan mendapatkan dua keping CD berisi materi utama pelajaran (matematika, bahasa Inggris, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu pengetahuan sosial). Materi tambahan lainnya bisa diperoleh dengan mengakses lewat internet. Dan setiap lima bulan, mereka akan menempuh tes layaknya evaluasi belajar di sekolah formal.
Soal penyetaraan ijazah bagi siswa home schooling, menurut Ace, pun tak perlu dikhawatirkan. Caranya mendapatkannya bahkan cukup mudah. Para siswa dalam program ini hanya diminta mengikuti ujian paket belajar A, B, dan C. Bila lulus, mereka berhak memperoleh ijazah yang diakui pemerintah.
SUKSES BERKAT JALUR DI RUMAH
BAGI sejumlah negara maju, konsep sekolah di rumah (home schooling) bukanlah hal yang baru. Di Indonesia, home schooling mulai dilirik banyak orang tua, awalnya karena dipicu oleh kekecewaan terhadap sistem pendidikan nasional yang diterapkan pemerintah. Walhasil, mereka pun mencari sistem pendidikan alternatif layaknya home schooling.
Lewat sistem pendidikan ini ternyata tak menghalangi para siswa terus berprestasi. Simak saja pengalaman Ria Ramadhani. Walau hanya mengikuti program home schooling selama enam bulan, dara kelahiran 9 April 1990 ini berhasil diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB).
Sebelum menjalani program sekolah di rumah, Ria adalah siswa di sekolah menengah umum swasta yang bercokol di kawasan Rawamangun, Jakarta. Ketika memutuskan memilih program home schooling, tak pelak, hal itu menimbulkan tanda tanya di kalangan teman-temannya. Apalagi keputusan itu diambil hanya enam bulan sebelum ujian nasional (UN) digelar pada April 2006.
Alasan Ria memilih program itu karena ia ingin lebih intensif mempersiapkan diri menghadapi UN dan SPMB. Lagi pula, ”Materi pelajaran home schooling tidak berbeda dengan yang formal,” kata anak bungsu dari tiga bersaudara ini. Semakin bulat tekadnya, juga karena didukung penuh oleh orang tuanya.
Selama mengikuti program home schooling, Ria didampingi sejumlah tutor (tergantung materi pelajarannya) yang khusus datang ke rumah. Sebenarnya, model home schooling yang ditekuninya, nyaris tak berbeda dengan model les privat atau bimbingan belajar. Jika ada yang berbeda adalah biayanya yang relatif agak mahal, yakni setiap bulannya Rp 1,2 juta. Toh, ikhtiarnya tak sia-sia.
Sistem pendidikan yang amat lentur dengan waktu ini juga banyak diminati kalangan artis muda. Salah satu adalah Ayu Shita Widyastuti Nugraha. Karena tidak terikat dengan waktu, ”Sistem belajar seperti ini sangat cocok dengan profesi saya saat ini,” ujar artis yang ngetop setelah membintangi FTV Bekisar Merah (2003) itu.
Saat masih berstatus sebagai siswi SMAN 3, Setiabudi, Jakarta, Shita mengaku kerap kesulitan membagi waktu untuk sekolah dan kegiatannya sebagai artis. Bahkan tak jarang ia harus mengorbankan kewajiban bersekolah, alias sering membolos. Dilemanya, di satu sisi Shita tak mau ketinggalan prestasi belajar, dan di sisi lain gadis yang saat ini berusia 18 tahun itu juga bertekad bisa mengembangkan karirnya sebagai artis.
Sejak tahun lalu Shita mulai mengikuti program home schooling. Hasilnya, patut dibanggakan. Tahun ini ia berhasil meraih ijazah SMA, sementara profesinya sebagai artis tetap berkembang.
Sumber : (http://www.majalahtrust.com/bisnis/peluang/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar