Minggu, 24 Mei 2009

Pendidikan Khusus Kaum Miskin?

Oleh Tata Mustasya

ADA kisah menarik dari Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom. Dikisahkan, Sen yang berumur sekitar sepuluh tahun dan tinggal di Dhaka bermain di kebun rumahnya pada suatu siang.

Tiba-tiba datang ke rumah Sen seseorang yang terluka tusuk-dengan pisau masih tertancap di punggungnya-dan berlumuran darah meminta tolong. Ternyata orang itu adalah korban salah sasaran dalam kerusuhan komunal yang sedang terjadi di kawasan itu.

"Istri saya sudah melarang saya untuk pergi ke daerah yang terkena huru hara, namun saya tidak punya pilihan. Saya harus mencari kerja agar keluarga saya bisa makan hari ini," jelas orang itu kepada ayah Sen dalam perjalanan ke rumah sakit. Orang itu, diketahui, bekerja sebagai buruh lepas harian. Akhirnya, orang yang bernama Kader Mia itu meninggal di rumah sakit.

Ketidakbebasan kaum miskin

Sen menceritakan kisah nyata itu untuk menggambarkan betapa kemiskinan membuat seseorang kehilangan kebebasannya. Sebabnya, preferensi orang miskin amat terbatas. Kader Mia kehilangan nyawa karena tidak punya pilihan untuk tinggal di rumah dan menghindari kerusuhan komunal. Dia tidak punya tabungan, bahkan untuk hidup keluarganya selama satu hari.

Ada sisi lain dari cerita itu. Cerita itu-sedikit banyak-menggambarkan rasionalitas kaum miskin dalam menentukan preferensi dan mengambil keputusan. Suatu bentuk rasionalitas yang mungkin amat berbeda dari orang nonmiskin. Pokok persoalannya, alternatif bagi orang miskin sangat terbatas.

Hal ini berkaitan langsung dengan kebijakan publik dalam mengentaskan kemiskinan. Implikasinya, tiap kebijakan publik yang terkait pengentasan kemiskinan harus memperhitungkan "karakteristik" preferensi yang terkait dengan ketidakbebasan kaum miskin itu. Tanpa itu, kebijakan tidak akan bekerja secara operasional. Itulah yang terjadi pada banyak kasus. Contohnya, petani miskin di beberapa negara berkembang memiliki preferensi untuk menolak inovasi pertanian. Banyak pihak-di luar petani miskin itu-yang semula menganggap preferensi petani itu bersifat irasional.

Padahal, hal itu justru merupakan keputusan rasional petani. Inovasi pertanian memang menjanjikan hasil produksi dan pendapatan lebih banyak. Namun, inovasi itu juga mengandung risiko-meski mungkin tidak tinggi-berupa turunnya produksi dan pendapatan dibanding bertani memakai cara lama. Dengan pendapatan yang sedikit di atas batas kehidupan fisik minimum (KFM), petani menjadi takut risiko inovasi itu.

Karena itu, tiap kebijakan publik dalam pengentasan kemiskinan harus berbasiskan data dan kebutuhan di tingkat mikro. Karakteristik masalah di antara kasus-kasus kemiskinan amat bervariasi dan hal itu akhirnya menentukan preferensi kaum miskin. Ini berarti, perlu ada kebijakan khusus untuk kaum miskin sekaligus tidak ada solusi yang seragam antara berbagai kasus kemiskinan.

Itu juga yang disampaikan ekonom dan Kepala Columbia University’s Earth Institute Jeffrey Sachs mengenai pengentasan kemiskinan. Menurut dia, diagnosa terhadap kemiskinan harus seperti diagnosa seorang dokter terhadap pasiennya. Dia menamakannya clinical economics. Dalam analisis ini, kemiskinan harus dilihat secara komprehensif dan teliti sehingga melahirkan kebijakan publik yang praktis dan tepat. Seperti penyebab sakit pada pasien, menurut Sachs, penyebab kemiskinan antartempat atau masyarakat tidak dapat digeneralisasi.

Pendidikan kaum miskin

Preferensi dan ketidakbebasan juga harus menjadi pertimbangan kuat dalam melaksanakan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin. Dalam konteks ini, pendidikan diharapkan mampu memperluas kebebasan dan preferensi kaum miskin.

Yang masih dilupakan, kebijakan pendidikan sendiri-agar bisa mencapai tujuannya-juga harus memperhitungkan preferensi dan keterbatasan kaum miskin. Ini terlihat, misalnya, dalam reaksi keras terhadap rencana kategorisasi jalur pendidikan formal menjadi jalur formal mandiri dan jalur formal standar. Yang tampak dari wacana ketidaksetujuan itu adalah ilusi normatif dan generalisasi usulan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin.

Faktanya, anak dari keluarga miskin terutama yang tergolong chronical poverty atau extreme poverty memerlukan semacam kebijakan pendidikan khusus. Hal ini disebabkan kaum miskin memiliki keterbatasan dan karakteristik masalah yang berbeda dengan orang nonmiskin. Pendidikan yang bersifat umum-meski terasa mulia secara normatif-tidak akan efektif memutus lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).

Sedikitnya, ada dua penyebab kebutuhan itu. Pertama, tingginya biaya pendidikan yang bersifat umum, terutama bagi kaum miskin kronis. Biaya pendidikan langsung masih bisa dibebankan kepada anggaran publik, tetapi tidak demikian halnya dengan biaya tidak langsung seperti biaya transportasi, uang saku, dan "biaya belajar". Biaya belajar yang sering diabaikan, misalnya, bernilai signifikan. Jeffrey Sachs menjelaskan, 33 siswa di sebuah daerah miskin di Kenya yang berhasil lulus ujian nasional. Kuncinya, komunitas itu mendukung aktivitas belajar siswa di luar jam kelas dengan menyediakan makanan di siang hari.

Kedua, terkait poin pertama, kaum miskin memiliki kebutuhan untuk segera bekerja. Waktu tunggu untuk menamatkan pendidikan tinggi, misalnya, terlalu panjang. Ini melahirkan kebutuhan terhadap sekolah pada tingkat dasar atau menengah yang memberikan keterampilan khusus dan sesuai kesempatan kerja.

Tanpa kebijakan yang spesifik, data BPS menunjukkan, pendidikan sampai tingkat menengah pertama belum efektif mengatasi pengangguran. Data tahun 2003 menunjukkan, pengangguran terbuka pada kelompok tidak sekolah atau tidak tamat SD sebesar 5,57 persen. Pengangguran terbuka pada kelompok tamatan SD dan tamatan SMP umum lebih tinggi, berturut-turut sebesar 6,34 persen dan 11,41 persen.

Dapat ditafsirkan, pendidikan dasar yang bersifat umum seperti sekarang ini tidak mampu menyelesaikan masalah kaum miskin. Tanpa tabungan, akses, dan kekayaan, kaum miskin yang menyelesaikan pendidikan dasar dan menganggur akan kian menderita. Karena itu diperlukan jenis pendidikan yang lebih spesifik bagi kaum miskin, misalnya pendidikan berbasis keterampilan dan potensi lokal, yang mampu menjadi bekal memperoleh pekerjaan.

Akhirnya, hindari berpikir normatif dan menerapkan generalisasi dalam kebijakan pendidikan bagi kaum miskin. Termasuk menerapkan kebijakan yang kelihatan ideal dan memenuhi asas normatif tetapi tidak akan berfungsi di lapangan.


Sumber : (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/12/opini/1744894.htm)

Tidak ada komentar: