Jumat, 22 Mei 2009

PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA

Kita mulai pembahasan ini dengan terlebih dahulu menginsafi bahwa harta benda dan anak-anak kita adalah karunia Ilahi kepada kita sebagai ujian tatau percobaan (fitnah),apakah kita dapat memanfaatkan harta itu dan mendidik anak tersebut dengan baik atau tidak. Sebab tidak perlu diragukan lagi bahwa harta dan anak adalah unsur-unsur utama kehidupan manusia, yang membuatnya memperoleh kebahagiaan lahir dan duniawi.

Karena “harta dan anak adalah hiasan hidup duniawi,” maka juga “Sesungguhnya hidup duniawi itu adalah permainan, kesenangan dan kemegahan serta saling bangga dan saling berlomba banyak dalam harta dan anak..” Jadi,sebgaai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemungkinannya dengan mudah berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber kesengsaraan dan kenistaan yang tidak terkira. Yaitu, kalau kita tidak sanggup memanfaatkan harta dan mendidik anak tersebut sesuai dengan pesan dan amanat Allah.

Oleh karena itu pembicaraan tentang pendidikan agama dalam rumah tangga—sebagai peringatan, terpaksa akita mulai dengan sikap skeptis dan ragu. Yaitu sikap mempertanyakan, benarkah pendidikan agama dalam rumah tangga mempunyai peran positif? Dapatkah hal ini dibuktikan dengan menunjukkan contoh-contoh nyata, dengan mengaitkannya dengan variabel-variabel yang secara lahiriah tentunya mendukung anggapan positif itu? Di sinilah sketipsisme tersebut bermula. Sebab jika variable orang-tua kita ambil sebagai unsur kaitan yang penting, yang kualitas atau kapasitas orang-tua itu—seperti kualitas dan kapasitasnya sebagai tokoh keagamaan (kiai, ulama, guru agama, pemimpin agama, tokoh politik agama, tokoh pendidikan formal agama, pemimpin organisasi keagamaan, dan seterusnya)—secara lahiriah tentu mendorong kita kepada kesimpulan tentang peran positif bagi pendidikan keagamaan anak-anaknya. Tapi tentunya dalam banyak hal kita akan segera menjawab: belum tentu! Dan itulah memang yang tidak jarang terjadi. Bukankah kerap terjadi, bahwa seorang tokoh agama (dalam berbagai kualitas dan kapasitas tersebut tadi), anak-anaknya justru tumbuh menjadi remaja dengan kepribadian tidak terpujil?

Agama dan Pendidikan Agama

Berdasarkan hal-hal diatas, barangkali kita harus merenungkan banyak hal tentang pendidikan agama dalam rumah tangga ini. Pertama-tama ialah perenungan tentang apa yang dimaksudkan dengan agama? Kedua, tentang apa yang dimaksudkan pendidikan agama? Dan,ketiga, apa yang dimaksudkan dengan pendidikan agama dalam rumah tangga?

Renungan pertama untuk sementara orang barangkali masih mengejutkan. Sebab, masihkah harus ada pertanyaan tentang apa yang dimaksudkan dengan agama? Bukankah agama bagi semua orang sudah begitu jelas, sehingga mestinya tidak perlu lagi perenungan akan apa maksudnya? Tapi bagi banyak orang renungan ini sudah sering terdengar. Misalnya, di antara para muballigh dan tokoh agama ada yang memperingatkan bahwa agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti salat dan membaca do’a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridha atau perkenan Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (ber-akhlaq karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggungjawab pribadi di Hari Kemudian. Inilah makna pernyataan dalam do’a pembukaan (iftitah) salat kita, bahwa salat kita itu sendiri, juga darmabakti kita, hidup kita dan mati kita, semua adalah untuk atau milik Allah, Seru sekalian alam. Inilah pernyataan tentang makna dan tujuan hidup yang diperintahkan Tuhan untuk kita kemukakan setiap saat.

Katakan (Wahai Muhammad): “Sesungguhnya Tuhanku telah memberi petunjuk kepadaku ke arah jalan yang lurus, berupa agama yang benar, yaitu agama Ibrahim yang hanif, dan dia itu tidak termasuk kaum yang musyrik. “Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam, tiada mempunyai sekutu. Untuk semua itulah aku diperintahkan,dan aku adalah yang pertama dari golongan yang pasrah (Muslim).(QS. Al-An’am: 161-162)

Karena itu renungan tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan agama muncul secara logis, sebagai kelanjutan dari renungan tentang apa itu agama. Karena agama adalah seperti yang dimaksud diatas, maka agama tidak terbatas hanya kepada pengajaran tentang ritus-ritus dan segi-segi formalitasnya belaka. Ini tidak berarti pengingkaran terhadap pentingnya ritus-ritus dan segi-segi formaliatik agama, tidak pula pengingkaran terhadap perlunya ritus-ritus dan segi-segi formal itu diajarkan kepada anak. Semua orang telah menyadari dan mengakui hal itu. Sebab ritus dan formalitas merupakan—atau ibarat—“bingkai” bagi agama atau “kerangka” bagi bangunan keagamaan. Karena itu setiap anak perlu diajari bagaimana melaksanakan ritus-ritus itu dengan baik dengan memenuhi segala “syarat dan rukun” keabsahannya.

Tetapi sebagai “bingkai” atau “kerangka” ritus dan formalitas bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Ritus dan formalitas—yang dalam hal ini terwujud dalam apa yang biasa disebut “Rukun Islam”—baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq karimah). Ini dapat kita simpulkan dari penegasan dalam Kitab Suci bahwa orang yang tidak memiliki rasa kemanuasiaan, seperti sikap tidak peduli kepada nasib anak yatim dan tidak pernah melibatkan diri dalam perjuangan mengangkat derajat orang miskin, adalah palsu dalam beragama. Orang itu boleh jadi melakukan salat, namun salatnya tidak berpengaruh kepada pendidikan budi pekertinya, dengan indikasi ia suka pamrih dan bergaya hidup mementingkan diri. Maka ia dikutuk oleh Allah:

Tahukah engkau (hai Muhammad),sipa yang mendustakan agama?

Yaitu yang mengabaikan anak yatim, dan yang tidak dengan tegas membela nasib orang miskin.

Maka celakalah mereka yang sembahyang itu!

Yaitu mereka yang melupakan sembahyang mereka sendiri.

Mereka yang suka pamrih,

Dan yang enggan menolong barang sedikit.(QS. Al-Maun: 1-7)

Maka pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian pendidikan agama yang dikenal dalam masyarakat itu tidak seluruhnya salah—jelas sebagian besar adalah baik dan harus dipertahankan—namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian itu harus disempurnakan. Maka dalam pengertiannya yang tidak atau belum sempurna itulah kita mendapatkan gejala-gejala yang tidak wajar berkenaan dengan pendidikan agama: seorang tokoh agama misalnya, justru menumbuhkan dan membesarkan anak-anaknya menjadi nakal. Padahal Nabi s.a.w. menegaskan bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi. Hal ini diungkapkan dalam sebuah hadis terkenal, Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi” (Innama bu’its-tu li-utammima makarim-al-akhlaq)

Kalau kita pahami bahwa agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi, maka pertumbuhan seorang anak tokoh keagamaan menjadi anak tidak berbudi adalah suatu ironi dan kejadian menyedihkan yang tiada taranya, dan itulah barangkali wujud bahwa anak adalah fitnah seperti dimaksudkan dalam firman Allah:

Ketahuilah bahwa sesungguhnya harta-bendamu dan anak-anakmu adalah ujian (fitnah) (dari Tuhan),dan sedangkan Allah sesungguhnya menyediakan pahala yang paling agung.(QS. Al-Anfal: 28)

Karena itu peran orang-tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Dan disini yang ditekankan memang pendidikan oleh orang-tua, bukan pengajaran. Sebagian dari usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru agama, misalnya. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain terutama hanyalah pengajaran agama, berujud latihan dan pelajaran membaca bacaan-bacaan keagamaan, termasuk membaca al-Qur’an dan mengerjakan ritus-ritus

Sebagai pengajaran, peran “orang lain” seperti sekolah dan guru hanyalah terbatas terutama pada segi-segi pengetahuan dan bersifat kognitif—meskipun tidak berarti tidak ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil memerankan pendidikan yang lebih bersifat afektif. Namun jelas bahwa segi afektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak dirumah tangga, melalui orang-tua dan suasana umum kerumahtanggaan itu sendiri.

Pendidikan Agama dan Penghayatan Agama

JIka pendidikan agama dalam rumah tangga itu memang penting, maka—berdasarkan renungan-renungan di atas—ia tidak sepenuhnya sama dengan yang secara umum difahami dan dimaksudkan orang. Pertama-tama, pendidikan agama dalam rumah tangga tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama. Pengajaran ini, sebagaimana halnya yang ada di sekolah oleh guru agama, dalam rumah tanggapun dapat diperankan oleh orang lain, yaitu guru mengaji yang sekarang mulai popular dalam masyarakat kita. Dan meskipun ada guru mengaji sekaligus juga dapat bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua secara sepenuhnya. Jadi guru gaji pun sebenarnya terbatas perannya hanya sebagai pengajar agama, yakni penuntun ke arah segi-segi kognitif agama itu bukan pendidikan agama.

Maka jika yang dimaksudkan adalah pendidikan agama dalam rumah tangga, jelas melibatkan peran orang tua serta keseluruhan anggota rumah tangga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam keluarga. Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran (yang notebene dapat diwakilkan kepada orang lain tadi). Peran orang tua adalah peran tingkah laku, atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh seperti dipaparkan di atas. Di sinilah lebih-lebih akan terbukti benarnya pepatah,” Lisanul Haal afshahu min lisanul maqal/Tindakan nyata itu lebih efektif daripada ucapan lisan).

Jadi jelas pendidikan agama menuntut tindakan percontohan lebih banyak daripada pengajaran verbal. Dengan meminjam istilah yang popular di masyarakat: “pendidikan dengan bahasa perbuatan untuk anak itu lebih efetif dan lebih manta daripada pendidikan dengan bahasa lisan”. Karena itu yang pentiig ialah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.

Sumber : (http://mtmcairo.multiply.com/journal/item/117/PENDIDIKAN_AGAMA_DALAM_KELUARGA)

Tidak ada komentar: