Homeschooling, sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan di rumah, kini sedang ramai dibicarakan orang. Sejumlah media massa, elektronik maupun cetak, juga ikut memopulerkan sistem pendidikan alternatif yang bertumpu pada suasana keluarga ini.
Persekolahan di rumah ini semakin menjadi perhatian dalam dua tahun terakhir ini, antara lain sejak begitu banyaknya orangtua merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah sering kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Akhirnya banyak anak yang stres dan kehilangan kreativitas alamiahnya.
Melihat gambaran di atas, mulai berkembang berbagai gagasan dari para pendidik, bagaimana menciptakan sekolah yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan anak. Lalu muncullah berbagai sekolah alternatif. Misalnya, sekolah alam, yang mengajak siswanya belajar lebih banyak di alam. Anak tidak terlalu banyak belajar dalam ruangan yang serba kaku dan tertutup, namun lebih banyak berada di alam bebas.
Ada pula sekolah alternatif lain yang membebaskan anak untuk belajar apa saja sesuai dengan minatnya. Di sini tidak ada kelas seperti halnya sekolah formal. Fungsi guru lebih pada membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya.
Masih banyak sekolah alternatif lain yang memiliki metode pembelajaran masing-masing. Intinya, anak dijadikan sebagai subyek kurikulum, bukan obyek. Atau dengan kata lain kurikulum dan sekolah adalah untuk anak, bukan sebaliknya, anak untuk sekolah dan kurikulum!
Dari berbagai alternatif di atas, muncullah kemudian homeschooling alias persekolahan di rumah. Secara etimologis, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah, namun secara hakiki ia adalah sebuah sekolah alternatif yang menempatkan anak sebagai subyek dengan pendekatan pendidikan secara at home.
Dengan pendekatan ini anak merasa nyaman. Mereka bisa belajar sesuai keinginan dan gaya belajar masing-masing; kapan saja dan di mana saja, sebagaimana ia tengah berada di rumahnya sendiri.
Di sini anak tidak terus-menerus belajar di rumah, namun bisa di mana dan kapan saja asal kondisinya betul-betul menyenangkan dan nyaman seperti suasana di rumah. Maka, jam belajarnya pun sangat lentur, yaitu dari mulai bangun tidur sampai berangkat tidur kembali.
Di banyak negara maju, konsep persekolahan di rumah ini sudah mulai banyak dikembangkan. Di Amerika Serikat, misalnya, sudah banyak disusun kurikulum untuk persekolahan di rumah agar sistem pendidikannya memiliki konsep dan visi yang jelas. Tahun ini ada sekitar 1,8 juta anak di AS yang belajar dengan sistem persekolahan di rumah, dan diperkirakan tahun depan akan meningkat sampai sekitar 2,5 juta anak.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebetulnya sudah lama bangsa kita mengenal konsep homeschooling ini, bahkan jauh sebelum sistem pendidikan Barat datang. Tengok saja di pesantren-pesantren misalnya, para kiai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya sendiri.
Begitu pula para pendekar, bangsawan, atau seniman tempo dulu. Mereka pun mendidik secara pribadi di rumah atau padepokan masing-masing daripada sekadar memercayakan kepada orang lain.
Tak kurang para tokoh besar semacam KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, atau Buya HAMKA juga mengembangkan cara belajar dengan sistem persekolahan di rumah ini, bukan sekadar agar lulus ujian kemudian memperoleh ijazah, namun agar lebih mencintai dan mengembangkan ilmu itu sendiri.
Saat ini sistem persekolahan di rumah juga bisa dikembangkan untuk mendukung program pendidikan kesetaraan. Khususnya terhadap anak bermasalah, seperti anak jalanan, buruh anak, anak suku terasing, sampai anak yang memiliki keunggulan seperti atlet atau artis cilik yang padat dengan kegiatan mereka.
UU Sisdiknas
Bagaimana sikap pemerintah? Secara prinsip tidak ada masalah. Karena, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dalam Pasal 27 Ayat (1) dikatakan: "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri." Lalu pada Ayat (2) dikatakan bahwa: "Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan." Jadi, secara hukum kegiatan persekolahan di rumah dilindungi oleh undang-undang.
Klasifikasi bentuk persekolahan di rumahi ada tiga macam, yaitu tunggal, majemuk, dan komunitas. Persekolahan di rumah dalam bentuk tunggal apabila diselenggarakan oleh sebuah keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lain. Dia dikategorikan majemuk apabila dilaksanakan berkelompok oleh beberapa keluarga. Adapun disebut komunitas bila persekolahan di rumah itu merupakan gabungan beberapa model majemuk dengan kurikulum yang lebih terstruktur sebagaimana pendidikan nonformal.
Oleh karena itu, persekolahan di rumah dapat didaftarkan ke dinas pendidikan setempat sebagai komunitas pendidikan nonformal. Pesertanya kemudian dapat mengikuti ujian nasional kesetaraan Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA).
Ada beberapa tantangan bagi penyelenggaraan persekolahan di rumah, yaitu: (1) sulitnya memperoleh dukungan atau tempat bertanya; (2) kurangnya tempat sosialisasi dan orangtua harus terampil memfasilitasi proses pembelajaran; serta (3) evaluasi dan penyetaraannya.
Namun, dengan adanya Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah-Pena) untuk mengoordinasi berbagai kegiatan persekolahan di rumah dan pendidikan alternatif di Indonesia, termasuk memberikan pelatihan dan informasi mengenai cara penyelenggaraannya, diharapkan kendala di atas dapat diatasi.
Adapun kekuatan persekolahan di rumah ialah lebih memberikan kemandirian dan kreativitas bagi anak, peluang untuk mencapai kompetensi individual secara maksimal, terlindungi dari penyakit sosial seperti narkoba, konsumerisme, pergaulan menyimpang dan tawuran, serta memungkinkan anak siap menghadapi kehidupan nyata dengan lingkup pergaulan yang lebih luas.
Ini semakin memperkuat keyakinan bahwa model persekolahan di rumah alias homeschooling bisa merupakan salah satu alternatif pendidikan di masa depan, serta mempercepat tercapainya masyarakat belajar yang merupakan salah satu ciri masyarakat madani.
Sumber : (http://www.jugaguru.com/news/31/tahun/2006/bulan/12/tanggal/19/id/300/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar