Alhamdulillah, saya berkesempatan terpilih menjadi salah satu interpreter selama sebulan penuh dalam program Education Management Course yang diselenggarakan British Council bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama dan Leeds University, UK. Sebagai interpreter, tugas saya adalah membantu menerjemahkan materi training yang disampaikan oleh pakar pendidikan dari Leeds University dan tokoh pendidikan lainnya ke dalam bahasa Indonesia kepada para Kyai dan Nyai pengelola pondok-pondok pesantren dari seluruh pelosok Indonesia yang menjadi peserta program tersebut.
Diantara program yang diselenggarakan adalah mengunjungi sekolah-sekolah. Ada tiga sekolah yang kami kunjungi. Dua sekolah swasta yang sangat mewah, dilengkapi alat belajar mengajar super canggih, nampak sangat berkelas dan terpelajar. Kunjungan yang lainnya adalah ke sebuah sekolah negeri yang terletak di salah satu daerah kantung imigran cukup kumuh di Leeds, UK. Yang menarik untuk diceritakan di sini adalah kunjungan ke kantung imigran ini, karena situasi lingkungannya agak mirip wilayah menengah kebawah di Indonesia.
Pendidikan untuk Anak dan Orang Tua Sekaligus
Hari itu kami menuju Beeston yang masih berada dalam wilayah Leeds (sebuah propinsi di West Yorkshire), mengunjungi sebuah Sekolah Dasar Negeri yang dipilih oleh penyelenggara. Sekolah itu sungguh sederhana tapi tak kalah mengagumkannya dengan sekolah swasta. Kami diizinkan melihat seluruh kelas. Sejak kelas persiapan (sejenis playgroup, disebut reception class) sampai kelas akhir year sixth (pendidikan dasar akhir untuk anak berumur 7-11).
Dari pengamatan sepanjang pagi dan siang itu, berikut dialog dengan guru dan kepala sekolahnya, saya menyimpulkan hal-hal berikut.
Anak didik, begitu memasuki kelasnya, benar-benar dikondisikan untuk belajar. Kondisi ruang kelas sangat memadai kalau tidak mau dibilang canggih. Ada smart board subsidi pemerintah untuk sekolah-sekolah kurang mampu. Smart board ini adalah touchscreen berukuran besar dan terhubung dengan komputer dan internet.
Sirkulasi udara dalam kelas sangat bagus. Jendela-jendela besar terbuka lebar di tiga sisi dinding. Tetumbuhan ditata indah di sekeliling sekolah, sebagian menyembul dibalik jendela kelas, membantu menyegarkan tatapan mata siswa saat lelah dalam situasi belajar. Satu lemari besar dari kayu berisi banyak buku berdiri anggun di sudut kelas.
Alat bantu belajar dan alat tulis dibagikan secara cuma-cuma kepada seluruh anak didik. Hal ini berlaku pada seluruh sekolah negeri di UK. Memasukkan anak ke sekolah negeri di UK berarti bebas SPP. Tak sekedar bebas SPP, bahkan orang tua yang sungguh tak mampu seperti mereka yang tinggal di kantung-kantung pemukiman paling kumuh di Leeds itu, berhak mendapatkan aneka training gratis yang disediakan oleh sekolah.
“As we know, knowledge is very powerful! School is one alternative from so many alternatives to gather knowledge. Since students in this school are mostly children of immigrants, we as teachers have to transform the knowlegde through their mother culture beside British culture. Some of them are illiterate from English language. Of course we have to teach them harder than we teach British children. Sometimes we need our interpreter (young Pakistani/Indian teacher), to accompany the child who has not able yet to speak English. Another problem is, most of their parents are also having less knowledge in teaching young learner, especially in dealing with children with difficult character. We have to urge the parents to join our special class for parents.” kata Ibu Kepala Sekolah, Ms. Diana, memberi penjelasan.
Ibu kepala sekolah melanjutkan penjelasan, “Para orang tua murid itu rata-rata adalah pekerja bluecollar (pekerja kasar) yang hanya mampu menghuni rumah kecil sederhana yang disewakan pemerintah dengan harga rendah. Pendidikan dan training kependidikan untuk orang tua anak-anak ini sangat penting. Agar apapun yang telah diserap si anak di sekolah bisa diajarkan kembali di rumah dengan cara yang menyenangkan oleh si orang tua. Pendidikan terbaik untuk anak-anak adalah pendidikan holistik! Sekolah tidak akan berhasil tanpa peran orang tua sebagai pendidik utama!"
“Training gratis itu kebanyakan diselenggarakan oleh orang tua murid lain yang lebih pandai. Sekolah menyediakan satu ruangan khusus yang bebas digunakan orangtua untuk berkumpul, berorganisasi dan melaksanakan program dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Pengetahuan sejatinya bisa diraih dengan banyak cara. Salah satunya adalah berbagi sesama mereka."
"Di antara orang tua murid itu banyak yang belum lancar berbahasa Inggris, padahal mereka hidup di UK. Jelas ketidakmampuan berbahasa Inggris ini menjadi problem bagi kami yang dipercayakan mendidik anak mereka! Dengan pertemuan rutin itu, orang tua yang belum lancar bahasa Inggrisnya bisa mengambil kursus bahasa Inggris yang diadakan di sekolah ini. Bagaimanapun, menguasai bahasa Inggris akan memperluas kesempatan dan akses!"
Ms. Diana melanjutkan cerita tentang komunitas orang tua siswa yang mengorganisasi diri di sekolah anaknya ketika salah satu peserta bertanya, "Ms Diana, are the parents helping school to generate the income for the organization or the school has to help the financial things for them?"
Ms Diana menjawab cekatan, "Secara alami, mereka menemukan cara-cara kreatif untuk menghasilkan dana. Misalnya, beberapa ibu saling berbagi ilmu membuat kue dan aneka masakan. Hasilnya dititipkan di kantin sekolah. Sebagian dari mereka membuat aneka kartu ucapan Natal dan dijual menjelang perayaan Natal. Dari sana mereka memperoleh pendapatan untuk menyelenggarakan kegiatan bermanfaat lainnya untuk mereka sendiri. Saya selalu percaya, pendidikan membebaskan orang dari kemiskinan dan ketergantungan melalui banyak cara kreatif!”
“Sebelum saya menjadi kepala sekolah di lingkungan ini belasan tahun lalu, banyak orang tua pengangguran yang tentunya menjadi beban tersendiri bagi pemerintah Inggris setempat, anak-anak yang tidak begitu bahagia di sekolah karena cara pengajaran yang kurang pas dan lingkungan sekitar sekolah yang kumuh karena orang tua belum sadar akan pentingnya hidup bersih serta belum begitu mengerti pentingnya konsep lifelong learning (belajar seumur hidup) serta berpikir dan bersikap positif.”
Luar biasa! Sebuah sekolah negeri yang sangat memberdayakan lingkungan sekitarnya. Kepala sekolah yang hebat dan inovatif, guru-guru yang selalu tersenyum dan penuh semangat membuat murid-murid menjadi riang gembira menerima pelajaran serta orang tua yang tak mau kalah dengan anak-anaknya, menggali ilmu sebanyak-banyaknya untuk kebaikan dan kemajuan bersama!
Tidak Mudah Mengganti Kurikulum
Dari keterlibatan saya dalam training pendidikan yang diikuti para Kyai NU ini, saya jadi mengerti, bahwa Menteri Pendidikan tidak mudah dan seenaknya saja mengganti kurikulum pendidikan dasar Inggris Raya. Perubahan kurikulum akan selalu melibatkan banyak pakar yang sungguh berkompeten di bidangnya. Mereka menjunjung tinggi warisan tradisi keilmuan mereka yang sangat kuat berakar. Materi pelajaran pokok yang mereka anggap bagus sejak 100 tahun lalu, akan dipertahankan sampai kapanpun. Sementara bidang-bidang baru yang ingin diajukan untuk dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, harus melewati prosedur yang panjang. Gambaran sederhananya kurang lebih seperti berikut.
Kepala sekolah di suatu wilayah harus mendapatkan dukungan suara dari beberapa kepala sekolah lainnya, lalu bersama-sama mereka mengajukan ke The Office for Standards in Education, Children's Services and Skills (OFSTEAD). Selanjutnya, OFSTEAD akan mengajukan ke pejabat negara setingkat (kurang lebih seperti Depdiknas) dan Depdiknas ini akan menyampaikan isu ini ke Menteri Pendidikan. Setelah Menteri Pendidikan menerima, hal yang sama akan terjadi kembali, Menteri akan menyampaikan rencana perubahan kurikulum nasional ke jenjang struktural di bawahnya hingga sampai ke kepala sekolah. Prosedur ini memakan waktu sekitar satu tahun. Prosedur ini ternyata sangat birokratisnya namun sekaligus memperlihatkan betapa tertib organisasi yang mereka jalankan selama ini.
Keberadaan OFSTEAD ini sendiri unik, karena tidak dibawahi oleh pemerintah, melainkan berdiri mandiri di bawah penunjukan Queen Elizabeth! (Her Majesty's Chief Inspector of Schools In England - "HMCI").
Prosedur tersebut memperlihatkan adanya pola pembaharuan bottom up. Di UK, perubahan kurikulum pendidikan itu diusulkan dari akar rumput, yaitu para ujung tombak penyelenggara pendidikan! Tentu saja outputnya menjadi sangat berbeda dibandingkan misalnya dengan perubahan yang top down. [moel&ad]
Fatimah Chairi, atau lebih dikenal dengan nama pena Imazahra, alumni Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta, mendapatkan gelar Master di bidang Gender and Islam, Departemen Theology and Religious Studies di Leeds University, UK. Saat ini bekerja dalam dunia perbukuan di Jakarta.
Sumber : (http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1400&Itemid=269)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar