Sabtu, 23 Mei 2009

MEMBUKA MASA DEPAN ANAK-ANAK KITA

MEMBUKA MASA DEPAN ANAK-ANAK KITA
MENCARI KURIKULUM PENDIDIKAN ABAD XXI
Oleh : SINDHUNATA, Editor
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000
235 halman



















Diresume oleh :

Nancy Wijaya Sugiyono 8135072769








KONSENTRASI PENDIDIKAN TATA NIAGA 2007
PRODI PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN EKONOMI DAN ADMINISTRASI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2009
















PENDAHULUAN

Buku yang berjudul Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita ini bercerita mengenai dunia pendidikan yang masih menjadi polemik permasalahan di Indonesia dan belum terselesaikan. Di penghujung abad kedua puluh ini, pendidikan tetap menjadi pokok keprihatinan yang utama. Sebagai pendidik atau yang bekerja pada lembaga pendidiakan serta siapapun yang mempunyai keprihatinan dalam bidang pendidikan seharusnya menyikapi persoalan kemajemukan di negara yang sedang belajar demokrasi ini. Dunia pendidikan menghadapi arus globalisasi yang sudah merembes masuk di setiap sudut kehidupan masyarakat kita. Gambaran macam apakah yang mesti diperjuangkan dalam pendidikan agar anak didik manusia menjadi yang bebas, madiri, toleran, solider, dan bertanggung jawab. Bagaimana kurikulum dan kegiatan belajar-mengajar dapat membantu proses pemekaran pribadi anak didik sehingga tidak kehilangan identitasnya di tengah masyarakat global. Selanjutnya, bagaimana kurikulum dan kegiatan belajar dan mengajar dapat membantu proses pemekaran pribadi anak didik sehingga tidak kehilangan identitasnya di tengah masyarakat global. Serta bagaimana lembaga-lembaga pendidikan di daerah – daerah dapat menyikapi berlakunya undang-undang tentang otonomi daerah dan tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di dalam buku ini terdapat gagasan kritis dan konstruktif yang dipersembahkan penulis untuk rakyat indonesia.

”Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita”, merupakan judul buku yang meringkas keprihatinan para pakar dan pencinta pendidikan yang pikiran-pikiranya terutang dalam buku ini. Buku ini juga merupakan kumpulan makalah yang dibawakan dalam seminar nasional ”Quo Vadis Pendidikan di Indonesia”. Buku ini menunjukan kembali ”Rekomendasi Pokok-Pokok Pendidikan” yang dikeluarkan oleh para pakar dan pecinta pendidikan pada akhir seminar tersebut. Disini mereka sepakat bahwa pendidikan haruslah dilakukan bukan demi apapun juga, selain demi hidup dan perkembangan anak-anak kita sendiri.

Anak bukanlah orang dewasa, oleh karena itu mereka tidak boleh diperlakukan seperti orang dewasa.mereka tidak boleh bekerja dengan kerja berat seperti orang dewasa. Bila mereka melakukan kesalahan atau pelanggaran, mereka tidak boleh dihukum seperti orang dewasa. Anak mempunyai dan membutuhkan pakaian, permainan, buku, dokter yang khas anak. Demikian pula mereka membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan mereka secara psikis maupun fisik.

Dinegara-negara barat, kanak-kanak ”baru” ditemukan ketika manusia menemukan kedewasaan, kerasionalan, kebebasan dari belenggu mitos dan keirasionalnya. Justru karena manusia menjadi dewasa, maka ia dapat menghormatianak-anak yang kedewasaanya tidak dapat dipaksa dan dipercepat semau-maunya. Karena itu, anak sebenarnya adalah sebuah penemuan dari peradaban. Sebuah peradaban itu maju, berhasil, dan mulia bila manusia-manusia di dalamnya bisa membarikan iklim dan kesempatan, di mana anak bisa berbahagia hidup sebagai anak. Sebaliknya, peradaban mundur dan menjadi biadab bila manusia-manusia di dalamnya suka memaksa anak menjadi dewasa dan besar seketika seperti kemauan mereka.

Peradaban manusia terluka karena di dalam kemajuannya toh masih banyak anak-anak yang menderita, seperti anak-anak gelandangan, anak-anak yang terlantar dan miskin. Tapi disamping gejala yang menyakitkan ini, ada gejala yang secara tersembunyi diam-diam membahayakan peradaban kita, yakni makin menipisnya perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak. Yang terakhir ini tidak hanya mengancam masyarakat miskin dan terbelakang, tapi bahkan juga masyarakat kaya dan maju. Hal ini disebabkan lebih-lebih karena pengaruh televisi. Lewat televisi, anak-anak bisa menyaksikan apa saja yang dibuat oleh orang dewasa, lalu ingin menirunya. Lebih jelek lagi, televisi juga mengiming-imingi apa yang sebenarnya baru boleh dilakukan oleh orang-orang dewasa. Gejala ini sudah lama terjadi. Dalam hal ini kita bisa mengingat, misalnya, sosiolog Amerika Neil Postmann. Tahun delapan puluhan, Postmann sudah memperingatkan tentang ”Hilangnya Masa Kanak-Kanak” dalam dunia yang makin modern dan maju ini.

Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan atau sekolah sebagai lembaga pendidik adalah salah satu bidang -kalau bukan biang yang paling bertanggung jawab- yang kerap membuart anak murid menderita dan kehilangan masa kanak-kanaknya. Seperti juga terbaca pada beberapa tulisan pada buku ini, para pakar sudah sering mengakui bahwa materi kurikulum sekolah kita terlalu padat. Berulang kali diadakan pembaharuan, mulai dari tahun 1975, 1984 dan 1994, toh kurikulum pendidikan kita belum juga berhasil mengurangi muatanya yang terlalu membebani para siswa. Untuk menolong anak-anak kita, perlulah kita menyeimbangkan kembali makna sekolah. Disatu pihak, sekolah adalah tempat, dimana anak-anak dipersiapkan untuk menghadapi dan melayani masyarakatnya. Namun di lain pihak, sekolah juga merupakan bentaeng perlindungan bagi anak-anak untuk menghadapi tekanan dari masyarakatnya.

Di sekolah, anak-anak mengalami dunia, mengagumunya, dan mengidentifikasikan diri terhadapnya, lewat apa yang diceritakan dan diajarkan para guru mereka. Dengan cara inilah anak-anak menghubungkan diri dengan dunianya. Dan kualitas dan kedalaman hubunganya ini terjadi sesuai dengan tahap-tahap perkembangan hidup mereka. Perlu digarisbawahi bahwa penyamarataan dalam menyampaikan pendidikan itu adalah kesalahan yang paling besar terhadap anak. Sayang, justru hal itulah yang sering kita lakukan dalam pendidiakan anak-anak. Dengan penyamarataan itu, diam-diam kita telah ”mematikan” anak-anak kita.

Menurut Kak Seto, pesan dongeng itu jelas: individu itu unik, punya kelebihan dan kekuranganya masing-masing. Bila keunikan itu dihargai, artinya kekuranganya diterima dan kelebihanya dihargai, maka individu akan dapat mengembangkan diri secara optimal. Bila keunikan itu diabaikan, sebaliknyalah yang terjadi. Dengan membaca buku ini, pembaca diharapkan mengerti bahwa pendidikan bukan berarti memberikan dan memaksakan dunia dan pengetahuan kita kepada anak-anak, tapi membuka dan menyelamatkan masa depan anak-anak kita.













BAGIAN I
KURIKULUM

Relevansi Kurikulum Pendidikan Masa Depan
Conny Semiawan

Pendahuluan :
Tulisan dalam buku ini tidak menyoroti secara teknis struktur kurikulum ataupun tujuan umum berbagai pedoman kurikulum setiap tingkat pendidikan, melainkan lebih banyak memperbincangkan perihal mengapa kurikulum masa depan memerluhkan wawasan yang berbeda dari pada kurikulum yang sekarang dihadirkan. Ulasanya terutama meninjau apa yang menjadi ciri penyelenggaraan kurikulum pendidikan hari ini secara umum, dan apa yang sekiranya dapat diupayakan dalam mencapai kondisi ideal yang dipersyaratkan.

Relevansi suatu kurikulum selaku suatu rancangan belajar yang mengacu ke pemenuhan tuntutan masa depan banyak ditentukan oleh visi pendidikan, yang didasarkan pada dasar filsafat yang kokoh karena visi tersebut menggambarkan aspirasi masyarakat terpelajar tertentu. Filsafat pendidikan sampai dengan hari ini tidak terjawantahkan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan, bahkan lebih sempit lagi dalam prinsip belajar-mengajar di kelas, hal itu terkait erat dengan seluruh sistem kehidupan terutama di masa lalu yang bertolak belakang dengan kerangka filsafat pendidikan dalam sistem kependidikan yang ”hitam di atas putih” harus diakui ada sejak Indonesia menyatakan kemerdekaanya.

Penyelenggaraan Pendidikan Hari Ini :
- Antara Filsafat Pendidikan dan ”Political Will”
Penyelenggaraan pendidikan banyak ”disetir” pleh pilitical will yang artinya, seluruh sistem pendidikan mengacu pada kecenderungan politis. Para pengusaha terlalu banyak mencampuri dan ”mengarahkan” sistem pendidikan, sehingga apa yang disebut filsafat pendidian nyaris tidak terefleksikan dalam setiap tindakpendidikan maupun pembelajaran.

Bahkan sering sekali tujuan pembangunan tersebut dikonotasikan dengan hal-hal yang sifatnya fisik. Dengan demikian, pembelajaran dan penguasaan iptek menjadi primadona di semua lembaga pendidikan, sejak tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi. Bahkan IPTEK ini bahkan banyak diartikan sebagai ilmu dan teknologi dalam arti sempit, yaitu ”The study of basic science and the application of this knowledge for practical purpose.”

- Pendidikan di Lembaga Formal
Pengamatan menunjukan bhawa guru dan dosen di kelasnya adalah faktor utama. Fungsi edukatifnya terutama berkenaan dengan menyajikan, menjelaskan, menganalisis dan mempertanggungjawabkan body of material yang harus dibelajarkan. Si pembelajar menjadi cliche, karena pada umumnya pelajaran harus didengarkan dan dihafalkan. Meskipun telah dipahami, jarang terjadi pengembangan mandiri berdasarkan aktivitas kreatif dalam konteks tipe pembelajaran yang bersifat eksploratif. Hakikat pendidikan seperti tersebut di muka adalah prinsip pendidikan yang menjadikan pembelajaran penurut. Suatu tipe pendidikan yang memiliki latar belakang yang mungkin terkait dengan unsur kebudayaan kita yang yang feodal pada zaman dulu.

Namun yang harus kita hasilkan bukanlah pembelajaran penurut, melainkan pembelajaran yang kritis, pengamat yang berani memiliki pendapat yang benar namun mungkin berbeda yang sifatnya kontradiktif dan original, serta yang minat dan motivasi belajarnya tinggi.



- Belajar Proses dan Belajar Produk
Metode lisan sering terjadi di kelas sekolah biasa ataupun perguruan tinggi dalam kaitanya dengan transmisi pengetahuan, adalah ”mengalihkan” pengetahuan yang tidak melahirkan prakondisi mengembangkan minat, konsentrasi ataupun kesiapan belajar. Sebaliknya subject matter berada diluar si pembelajar untuk diadopsikan.

- Keterlibatan Langsung dalam Kehidupan Nyata
Berbgai perubahan cepat kehidupan yang menjadi ciri utama peradaban ke-21 ini adalah keterampilan mentransfer pengetahuan tertentu yang sangat spesifik konteksnya, sehingga diperluhkan transferable knowledge bukan pengetahuan umum yang sangat teoritis sifatnya. Yang memiliki komponen-komponen yang identik dengan dan dapat diterapkan di dalam kehidupan nyata akan menumbuhkan prakarsa dan memekarkan potensi kreatif.

- ”Zeitgeist” Pendidikan
Persaingan ketat dalam dalam dunia bisnis yang menjurus ke arah rivalitas yang negatif dengan berbagai dampaknya merasuk juga dalam zeitgeist dunia sekolah. Situasi kompetitif memperlihatkan bahwa pelaku bisnis bukan menganggap sesamanya sebagai sejawat seperjuangan dalam mencapai suatu kondisi kehidupan ekonomi yang sehat, melainkan pelaku bisnis beranggapan bahwa rekan bisnis adalah saingan (rival) yang harus ditaklukkan.

Kondisi Kondusif yang Dituntut oleh Masa Depan :
- Masyarakat Informasi
Information based society memberikan peluang dan hak kepada setiap individu untuk meraih kesempatan berpartisipasi dan meningkatkan produktivitas, sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan keluarga, masyarakat, dan bangsa.
- Era Kehidupan Baru
Visi yang dikembangkan di era ini a deep inner reflection yang ditandai oleh suatu authority from within. Apabila era industri dan informasi disertai oleh kecenderungan materialistis, konsumtif dan rivalitas persaingan yang kurang sehat, karena bertujuan menaklukkan ”musuh bersaing” sampai KO, maka persaingan global kini dibarengi kerja sama, suatu kompetisi yang tidak lagi mentolerir keserakahan.

- Tuntutan terhadap Pendidikan
Tugas pendidikan adalah membuka kemampuan yang dimiliki seseorang secara optimal mungkin melalui sharing of information untuk menjadi manusia yang bukan saja pintar, tetapi juga kreatif, kritis, dan memiliki ketahanmalangan, yang ditandai oleh adversity quotient yang tinggi. Ada dua pendekatan yang harus dipaparkan dalam pengembangan kemampuan manusia yang saling melengkapi, yaitu pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan kemampuan manusia.

Implikasi :
- Nature
Konsep nature terkait dengan bakat dan potensi yang dibawa sejak lahir, setelah menikmati pengaruh lingkungan berupa pembelajaran, terus-menerus berada dalam berbagai fase perkembangan. Penekanan yang dilakukan tidak lagi hanya pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar siswa/mahasiswa menggunakan peralatan mentalnya secara efektif dan efesien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan terutama juga oleh keterlibatan emosional dan kreatif.

- Nurture
Istilah nurture menunjukan pada lingkungan, yang adalah segala sesuatu di luar diri si individu. Rancangan belajar yang disebut kurikulum yang relevan dengan tuntutan masa depan juga harus memperhatikan berbagai pengaruh lingkungan yang berdampak pada tumbuh kembangnya manusia itu sendiri.


Memicu Perbaikan Pendidikan Melalui Kurikulum
dalam Kerangka Pikir Desentralisasi
T. Raka Joni

Latar Belakang:
Pendidikan lazim dilihat dalam kerangka pikir penerusan materi, oleh karena itu, maka tidaklah mengherankan apabila semua pihak seakan-akan berlomba-lomba menyatakan kehendaknya untuk ”menambahkan materi kurikulum” dan/atau ”jam pelajaran” dalam rangka menjawab berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat mulai dari peningkatan ketertiban berlalu lintas dan pengatasan tawuran pelajar sampai dengan pencegahan infeksi yang mengakibatkan AIDS dan penagkalan wabah penggunakan narkoba. Kurikulum lebih sering menyampaikan pesan yang sama sekali berbada dari yang telah secara resmi dinyatakan.

Hakikat Kurikulum :
Untuk dapat berbincang-bincang secara produktif mengenai pengembangan dan implementasi kurikulum dalam rangka menerjemahkan kurikulum formal menjadi pengalaman belajar yang mendidik, terlebih dahulu perlu dilakukan penyamaan bahasa mengenai kurikulum itu sendiri. Untuk memperlancar wawancara wacana, maka berdasarkan keberdampakanya kepada siswa, paparan dalam makalah ini mengetengahkan 5 tataran kurikulum yang berbeda, yaitu :
a. Kurikulum Ideal
b. Kurikulum Formal
c. Kurikulum Intruksional
d. Kurikulum Operasional
e. Kurikulum Eksprensial
Kurikulum dilihat dari sudut pandang keberdampakan kurikulum terhadap tingkah laku siswa, maka pada dasarnya yang eksis hanyalah kurikulum lokal yang berupa pengalaman belajar yang digelar oleh guru dari hari ke hari.

Rujukan Dasar Pendidikan :
- Fungsi Pendidikan
Pendidikan merupakan upaya yang bertujuan telah lazim diterima tanpa perbantahan. Namun, tidak demikian halnya apabila pemikiran ini dirunut hingga ke lapangan. Kurikulum bertujuan untuk mencermati upaya pendidikan, yang dapat memberikan tuntunan kepada baik pengambilan keputusan dan perencang kurikulum di tingkat nasional maupun kepada guru yang bertugas menggelar kurikulum lokal.

Sebagian pihak melihat pendidikan hanya sebagai proses sosialisasi, berbeda dengan amanat pada pembukaan UUD 1945, pendidikan pada dasarnya di pandang sebagai upaya untuk mencerdaskan bagsa. Sehingga tidak sekedar survive, namun bahkan juga tampil secara bermartabat di masa depan.

- Orientasi Masa Depan
Program pembelajaran di sekolah seyogyanya berorientasi kepada masa depan.
a. Pertama-tama, masyarakat masa depan yang bahkan telah hadir dalam kehidupan kita ini ditandai oleh perubahan yang sangat cepat sebagai dampak dari percepatan perkembangan ilmu dan teknologi.
b. Yang kedua, tiap individu warga masyarakat masa depanharus mampu berfikir secara mandiri dalam arti dapat menilai hasil serta proses berfikir sendiri di samping hasil hasil serta proses berfikir orang lain.
c. Yang ketiga, tiap individu warga masyarakat masa depan harus berani memikul tanggung jawab dalam arti berani serta bersedia menerima konsekuensi dari keputusan dan perbuatan sendiri,serta mematangkan segala tindakan yang bercirikan ”lempar batu, sembunyi tangan”.

- Keadaan yang Berlaku sampai Sekarang
Di lingkungan pendidikan di tanah air adalah para guru yang memainkan peranan sebagai operator kurikulum. Pada segi teknis penampilan kurikulum eksperiensialyang kurang bermutu itu dapat dirunut kepada kurangnya penguasaan pada salah satu atau lebih dari keempat pilar penopang kemampuan profesional keguruan-kependidikan yang terdiri atas penguasaan :
a. Penguasaan materi dan metodologi pendidikan bidang ilmu sumber bahan ajaran.
b. Cara memilih, menata, serta mempresentasikan materi bidang ilmu sumber bahan ajaran.
c. Proses belajar siswa yang merupakan kelompok layanan.
d. Prosedur yang membelajarkan siswa.


Reorientasi Pemikiran tentang Kurikulum :
Perlu ditekankan bahwa reorientasi pemikirantentang kurikulum perlu dilakukan, dengan atau tanpa penerapan kebijakan desentralisasi. Beberapa bidang yang berkaitan dengan reorientasi pemikiran mengenai ”kurikulum” yang dibutuhkan itu, adalah :
- Dari ”Content Transmission” Beralih Kepada ”Pembentukan Kemampuan”
- Dari Pendekatan ”Scholatic Teaching-Based” Menunjukan Pendekatan ”Learning-Based”
- Dari Fiksasi pada Pengembangan Kognitif Menuju Penyediaan Peluang untuk Pembentukan ”Emotional Intelligence”
- Dari Ujian yang Artifisial Menuju Sistem Tagihan yang Lebih Autentik

Mensinergikan Ebtanas, Kurikulum, dan Buku Pelajaran
S. Belen

Desentralisasi Kurikulum Dan Ebtanas ?
Fungsi atau urusan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum, menilai buku teks, meningkatkan partisipasi orang tua, dan lain-lain. Dalam rangka otonomi pendidikan, perbandingan sistem pendidikan disebar ke 5 tingkatan, yaitu :
- nasional
- negara bagian atau propinsi
- kabupaten
- kecamatan atau gugus sekolah
- sekolah.

Perbandingan standar kurikulum dan standar ujian:
a. Fungsi-fungsi pendidikan yang lain boleh disertakan kepada daerah dan sekolah, tetapi fungsi pengembangan kurikulum nasional dan ujian nasional tetap berada di tangan pusat.
b. Fungsi pengembangan dan penerbitan buku teks sebaiknya berorientasi pasar, diserahkan kepada mekanisme kompetisi antar penerbit swasta agar secara bertahap mampu menerbitkan buku teks bermutu. Pemerintah sebaiknya tidak menilai buku teks mana yang dapat dibeli di sekolah agar terhindar peluang kolusi dan korupsi dengan penerbit swasta.
c. Pemerintah hanya menerbitkan buku teks untuk sekolah kejuruan dan sekolah luar biasa yang tidak memiliki prospek keuntungan karena jumlah siswa sedikit.

Langkah penting selanjutnya adalah membenahi standar kurikulum dan terutama yangmendesak standar ujian nasional (Ebtanas)

Ebtanas :Faktor Penggertak ?
Setelah kurikulum baru terbit, buku teksdisusun. Guru mengajar berdasarkan kurikulum dan menggunakan buku teks dalam proses belajar-mengajar. Kecenderungan umum para guru di berbagai negara adalah mengajar untuk mempersiapkan siswa mengikuti ujian akhir. Betapapun tinggi standar kurikulum yang disusun, ujian akhir yang hanya berupa ujian tertulis yang didominasi bentuk soal objektif tak akanmampu menjadi faktor penggertak.

Gambaran Kemampuan Siswa SLTP dan SMU :
Fungsi Ebtanas sebagai tenaga pendorong PBM yang terfokus pada pengembangan keterampilan dasar mata pelajaran dengan pendekatan belajar aktif dan pemecahan masalah berkurang, bahkan tak terlaksana. Pemahaman konsep dan materi pokok serta penguasaan keterampilan dasar menjadi dangkal.

Total NEM rata-rata Nasional SD selama lima tahun sebesar 6,34, tidak merah tetapi masuk kedalam kategori mediocre. Total nilai ini menurun di SLTP dan lebih menurun lagi di SMU. Sebab di SLTP dan SMU tidak pernah mencapai angka 6,00. Kecenderungan kemerosotan ini terjadi pada masa kita masihmelaksanakan pembangunan pendidikan nasiona, sebelum datang krisis moneter tahun 1997.

Pelajaran Untuk Indonesia :
Pada buku ini penulis, mengajukan saran konkret untuk mensinergikan Ebtanas, kurikulum dan buku teks :
a. Pertama, pendekatan pengembangan kurikulum hendaknya beralih dari pendekatan content ke pendekatan Outcome atau kompetisi dasar.
b. Kedua, Pendekatan kuantitatif yang didominasi bentuk soal pilihan ganda seharusnya diganti dengan pendekatan kualitatif, yang menekankan bentuk soal subjektif.
c. Ketiga, berlatih untuk menjadi juara pertama dalam tes matematika dan IPA TIMSS seperti singapura.
d. Keempat, menghapuskan UMPTN, dan hasil ujian akhir SMU turut menentukan ranking di perguruan tinggi.
e. Kelima, Ebtanas SD boleh dihapuskan, sebagai gantinya diterapkan tes terstandar membaca, menulis dan berhitung.
f. Keenam, pemerintah tak perlu lagi menerbitkan buku paket. Penerbitan diserahkan kepada penerbit swasta.



Kurikulum SMU yang Menunjang Pendidikan Demokrasi
Paul Suparno

Pendahuluan :
Apa yang kurang tepat dengan kurikulum SMU kita sehingga dampak yang kurang baik terjadi saat ini?hal ini yang akan dibahas secara kritis pada bab ini, dari segi kurikulum yang berlaku, sekaligus mengusulkan beberapa perubahan yang membangun.

Tujuan Pendidikan :
Kurikulum yang ideal selalu didasarkan pada tujuan pendidikan nasional maupun tujuan sekolah itu sendiri, filsafat pendidikan yang dianut serta situasi kongkrit negara atau sekolah tersebut. Karena tekanan tujuan pendidikan SMU adalah untuk mempersiapkan siswa belajar lebih lanjut ke perguruan tinggi, maka banyak bahan yang diperkirakan perlu di perguruan tinggi di berikan di SMU.

Tuntutan globalisasi mengharuskan manusia Indonesia nantinya dapat bekerja sama dan aktif dalam percaturan dunia yang lebih luas dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan lain-lain.

Filsafat yang Mendasari Kurikulum :
Pengaruh filsafat pendidikan tradisional sangat dominan, karena menekankan pentingnya pokok bahasan pada setiap bidang. Yang dianggap sebagai kebenaran yang harus diajarkan kepada siswa dari dulu dan seterusnya. Menurut filsafat tradisional, pengetahuan itu lebih merupakan hal/barang yang sudah jadi dan tinggal dipindahkan kepada siswa, yang isinya sudah dipilihkan oleh penentu policy pendidikan.

Filsafat pendidikan modern, siswa lebih dipandang sebagai subjek, sebagai seseorang yang sudah mengetahui sesuatu namun belum sempurna. Dan pendidikan lebihmembantu agar mereka aktif.

Filsafat konstruktifisme, pengetahuan itu merupakan bentukan siswa yang sedang belajar. Siswa membentuk pengetahuanya lewat interaksi dengan bahan yang dipelajari atau pengalaman baru melalui indranya.

Situasi Daerah di Indonesia yang Bervariasi :
Indonesia terdiri dari banyak pulau dan daerah yang berbeda situasinya. Ada daerah yang sudah maju seperti jakarta, dan ada yang belum amju seperti papua. Olehkarena itu cara pengajaran juga harus disesuaikan dengan situasi yang ada pada setiap masing-masing wilayah. Dan tidak dapat disamaratakan untuk waktu yang masih berkembang ini.

Pemikiran dan Usulan Kurikulum SMU Mendatang :
Faktor yang harus diperhatikan untuk membuat kurikulum dimasa mendatang diantaranya adalah :
- Bahan Pelajaran
o Less Is More
o Bahasa Inggris, Indonesia dan Internet
o Pancasila
o Budi Pekerti
- Soal Penjurusan di SMU
- Soal Sentralisasi dan Desentralisasi
- Proses Pembelajaran
- Evaluasi dan Ebtanas













BAGIAN II
PERKEMBANGAN ANAK


Pendidikan dan Masalah Perkembangan Anak
Kak Seto
Pengantar :
Menceritakan sebuah dongeng tentang sekolah hewan. Setiap hewan memiliki kemampuan hidup masing-masing. Seperti ikan dapat berenang tidak seperti burung. Sebaliknya burung dapat terbang tinggi dan tidak dapat berenang. Bila burung dipaksakan untuk berenang, maka akan fatal akibatnya, begitu sebaliknya.

Dari sini dapat ditangkap pengertian, bahwa setiap individu ternyata memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang disebut dengan keunikan individu. Bila keunikan tersebut dihargai, maka setiap individu dapat berkembang secara maksimal pada setiap diri individu.

Memahami Anak :
Ada beberapa konsep yang harus dipahami terhadap setiap individu anak, diantaranya :
a. Anak bukan orang dewasa mini
b. Anak memiliki dunia bermain sendiri
c. Anak harus berkembang sesuai kemampuanya
d. Anak senang meniru
e. Anak adalah individu yang kreatif.

Pengertian Keceradasan :
Menurut Gerdner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan :
a. Kecerdasan Matematika-Logika
b. Kecerdasan Bahasa
c. Kecerdasan Musical
d. Kecerdasan Visual-Spacial
e. Kecerdasan Kinestetik
f. Kecerdasan Interpersonal
g. Kecerdasan Naturalis

Selanjutnya oleh tokoh-tokoh seperti Sternberg dan Salovey, sebagaimana diungkapapkan oleh Golmen, disebutkan ada lima wilayah kecedasan pribadi dalam bentuk kecerdasan emosional, yaitu :
a. Kemampuan mengenali emosi diri
b. Kemampuan mengelola emosi
c. Kemampuan memotivasi diri
d. Kemampuan mengenali emosi orang lain
e. Kemampuan membina hubungan

Penutup :
Berbicara masalah pendidikan anak kiranya tak bisa lepas dari pemahaman tentang perkembangan jiwa anak. Anak bukanlah sekedar robot yang bisa diprogram begitu saja sehingga bisa bergerak atas kemauan guru atau orang tua. Sehingga pendidikan awal pada masa anak-anak di masa dini juga harus mempertimbangkan unsur dunia bermain yang indah. Suasana kegiatan belajar mengajar yang menarik, interaktif, merangsang kedua belahan otak anak secara seimbang, memperhatikan keunikan tiap individu, serta melibatkan partisipasi aktif setiap anak akan membuat seluruh potensi anak didik berkembang secara optimal.







Pilih Mana :
Orang Tua atau Media Massa?
Sarlito WirawanSarwono

Banyak kasus yang mengandung unsur bujukan, rayuan, penipuan, dan penculikan yang menyangkut anak-anakremaja. Korban biasanya berasal dari keluarga-keluarga yang tidak bermasalah. Keluarga yang harmonis tidak menjadi jaminan bahwa anak-anak akan lebih suka tinggal dirumah dari pada mengikuti bujukan dan rayuan dari luar.

Dampak Media Massa :
Dampak negatif media massa sudah menjadi kecemasan para orang tua sejak dulu. Yang menayangkan kekerasan, seks, perselingkuhan, dan lain sebaginya. Orang tua berusaha tetap menjaga anak-anak agar tidak mengkonsumsi informasi tersebut. Namun semua nampak tidak berhasil, sebab :
- Jenis dan teknologi media massa berkembang dengan cepat.
- Bahwa anak-anak tetaplah anak-anak yang senang mengetahui hal baru.
Kecenderungan anak-anak untuk mengikuti adegan tersebut sangat besar. Dan harus dihindari demi perkembangan anak yang baik.

Persaingan antara Nilai-Nilai Moral :
Perkembangan teknologi media massa yang memusingkan orang tua, tetapi sekaligus dibutuhkan masyarakat, itu pada hakikatnya bukanmonopoli media massa saja. Contohnya dalam bidang keluarga berencana, sampai dengan tahun 1950an orangmasih berfikir bahwa sebaiknay orang cepat menikah dan memiliki banyak anak. Dulu memiliki banyakanak dianggap baik,namun tidak terjadi pada saat ini, maka dari itu program keluarga berencana digencarkan. Namun dengan penundaan pernikahan tidak otomatis mencegah hubungan seks, bahkan diluar nikah sekalipun. Namun ketiaka teknologi kontrasepsi berkembang dan digunakn pada pranikah, disini terjadilah benturan nilai-nilai imtaq dan moral. Dan hal inilah yang seharusnya diluruskan dan dibenahi.

Mengatasi Konflik :
Kegagalan orang tua untuk mendetaeksi konflik-konflik pada anaknya akan mempercepat anak terseret kepada hal-hal yang diluar kendali orang tua, termasuk hal-hal negatif yang bisa membahayakan anak, termasuk nilai-nilai etika yang keliru. Sulitnya, banyak sekali orang tua yang tidakmengetahui jenis konflik apa yang sedang diatasi oleh anaknya. Oleh karena itu sebagai orang tua haruslah peka dan membantu mengatasi konflik yang terjadi pada anak merka.

Meningkatkan Nilai Keluarga :
Konflik antara orang tua dan media massa pada diri anak dan remaja, sulit dimenangkan oleh orang tua, oleh karena banyak faktor di luar keluarga yang tidak bisa dikendalikan oleh orang tua. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa orang tua sama sekali tidak punya peluang untuk memenangkan konflik tersebut. Oleh karena itu, untuk memenangkan persaingan denganmedia massa, orang tua perlu berpikir berdasarkan jalan pikiran anak. Jadi, dalam memenangkan persaingan, orang tua harus kembali fungsinya sebagai pelindung dan pengayom yang menyayangi anak, bukan dengan versi orang tua melainkan dengan versi anak itu sendiri.


Perjuangan Untuk Bacaan Anak yang Layak
Benang Masih Kusut - Murti Bunanta

Masalah yang Masih Membelit :
Ketika pendidikan masih menjadi prioritas yang kesekian, bacaan untuk anakpun pasti belum mendapat perhatian yang selayaknya. Perjuangan untuk mendapatkan bacaan yang layak masih panjang. Keadaan yang memungkinkan untuk hal tersebut, melalui kurikulum sekolah, baik untuk guru dengan mempelajari bacaan anak, maupun untuk anak melalui jam bercerita dikelas atau perpustakaan sekolah yang terjadwal masih belum menjadi peraturan di negeri ini.

Selain itu, kritik untuk sastra anak dan penelitian untuk mengkaji sastra anak jauh dari ilmiah atau tidak banyak. Penulis lokal bacaan anak tidak banyak yang dikenal para pembaca di negara sendiri, apalagi di dunia. Hal-hal krusial ini yang sekiranya sedang membelit.

Sastra Anak yang Belum Menghidangkan Sastra Anak :
Terminologi sastra anak bisa dipergunakan untuk merujuk pada bacaan anak secara umum ataupun secara khusus ditujukan pada bacaan anak yang bernilai sastra. Namun di negara ini masih banyak sastra bacaan untuk anak yang belum menghidangkan bacaan khusus untuk anak yang penuh dengan pendidikan dan pelajaran didalamnya, yang dikemas secara apik.

Tema dan Ragam Sastra yang Belum menyentuh Persoalan Masa Kini :
Jadi secara singkat penulis mengatakan bahwa, tema-tema yang ditulis masih diutamakan untuk kepentingan mendidik anak saja (dalam arti sempit), kepentingan finansial, dan kepentingan ideologis. Belum cukup tema-tema untuk kepentingan anak sendiri. Berapa banyak yang mengetengahkan tentang masalah perceraian, penyalahan obat bius, dan lain-lain. Namun, anak-anak Indonesia harus diberi kesempatan untuk membaca tema dengan masalah-masalah masa kini yang dalam teori sastra anak dimasukan ke dalam buku jenis fiksi realistis kontemporer.

”Reading Hour”, Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Umum, dan Lingkungan Rumah :
Di negara maju, ”Reading Hour” sudah menjadi suatu kebiasaan yang ditunjukan oleh kurikulum pendidikan bahwa anak-anak pada setiap tingkat pendidikan diwajibkan mengunjungi perpustakaan sekolah, dibimbing dan dimotivasikan untuk meminjam buku.

Namun, persoalan sekarang adalah tidak semua sekolah di Indonesia, baik SD, SLTP, maupun SMU, dilengkapi dengan perpustakaan yang memadai koleksinya dan layak ruanganya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis juga masih menunjukan bahwa perpustakaan sekolah, apalagi perpustakaan umum, bukanlah akses bagi anak untuk mendapatkan dan membaca cerita, paling banyak membeli buku sendiri, tetapi banyak pula yang jarang dibelikan buku.

Gerakan Minat Membaca yang Belum Juga Dikonsep :
Sampai saat ini,bahkan di era reformasi, gerakan mengembangkan minat membaca dari pihak pemerintah baru sebatas slogan. Harus diakui, seandainya minat membaca di Indonesia meningkat, maka ini disebabkan usaha-usaha penerbit melalui iklan-iklannya dan pameran buku IKAPI. Minat membaca di keluarga Indonesia belum dapat dikatakan memadai, kebanyakan digunakan untuk pergi ke mal dari pada ke toko buku atau ke perpustakaan nasional. Sehingga perlu pengkonsepan khusus untuk meningkatkan minat baca keluarga Indonesia khususnya anak-anak.

Pernyataan Keliru yang Perlu Diluruskan :
Yang memprihatinkan adalah banyak pernyataan keliru yang disampaikan oleh orang yang tidak mengetahui atau mendalami sastra anak, yang bisa mengacaukan persoalan yang sebenarnya. Contohnya, kasus seputar bacaan komik dan cerita rakyat, yang agaknya menjadi ”primadona” dunia bacaan anak di Indonesia. Cerita rakyat sering kali ”diperalat”, baik untuk urusan ideologi, pendidikan, cerita bangsa, ataupun kepentingan bisnis agar dapat dibeli proyek. Dan lainya.

Pengarang yang Sadar akan Mutu Benih yang Ditanamnya :
Dunia bacaan anak-anak Indonesia masih belum layak, itu karena andil pengarangnya juga. Setiap orang yang menulis atau pernah menulis bacaan anak lalu pantas disebut ataumenyebut diri sebagai pengarang sastra anak. Seorang pengarang adalah ”sebuah daerah yang netral” yang menyikapi suatu masalah dengan mata seorang pengamat yang menengahi dan tidak berpihak. Latar belakang agama dan ras serta keyakinan tidak menjadikan penilaian pribadi mewarnai karanganya. Diharapkan pengarang mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak-anak masa kini, sehingga dapat dihasilkan anak-anak yang berpendidikan baik.

Andai Saja Begini :
Penulis dalam buku ini berandai-andai, bila setiap hari, di semua saluran televisi dan radio di Indonesia ada cerita-cerita yang dibacakan dan dibahas. Cerita yang dipentaskan oleh teater anak dan sinetron diambil dari buku sastra anak. Penghargaan untuk penulisan dan penelitian sastra anak diselenggarakan oleh banyak lembaga yang bergengsi untukmenghargai pengarang. Media massa banyak membuat resensi buku yang kritis, dan lain sebagainya.


Pendidikan yang Berorientasi pada Perkembangan Siswa
M.D. Dahlan

Makna Pendidikan :
Ada beberapa makna pendidikan, diantaranya :
a. persekolahan, yang mencakup segala kegiatan di lembaga pendidikan, seperti tk, sekolah, perguruan tinggi, dan akademik;
b. pembelajaran berkenaan dengan keterampilan tertentu atau pelatihan vokasi tertentu;
c. pelatihan tingkah laku tertentu yang seyogyanya dimiliki oleh siswa;
d. proses penanaman sikap, keyakinan dan nilai tertentu yang diperoleh melalui berbagai kegiatan sosial di sekolah.

Makna Berorientasi pada Perkembangan Siswa :
Ada yang perlu diketahui pendidik, bahwa pada masa awal kelahiranya anak belum mengetahui tuntutanlingkungan terhadap dirinya. Di saat-saat itu mereka membutuhkan tangan-tangan halus ibunya, sentuhan rasa dan kehangatan ibunya, yang memberi makna dan warna bagi kehidupan anak selanjutnya. Yang perlu diperhatikan pendidik terutama berkenaan dengan emosi , dan daya ingat yang akhir-akhir ini mencuat menjadi perhatian para ahli psikologi, ilmuan dan para pendidik.

”Dalam kehidupan suatu bangasa, pendidikan mempunyai peran yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan.”

Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa pendidikan seyogianya memperhatikan tahap-tahap perkembangan siswa, irama perkembangan dan bioritme. Disamping itu pendidik harus memahami ciri-ciri prilaku yang merupakan petunjuk kecenderungan belajar siswa. Dengan memperhatikan kecenderungan itu suasana belajar dapat disesuaikan dengan kecenderungan belajar siswa.


Apa yang Perlu Diketahui tentang Perkembangan Siswa ?
1. Tahun pertama adalah masa susbur untuk mengembangkan kreativitas siswa.
2. Manuisia memiliki belahan otak kiri dan kanan, yang memiliki fungsi saling melengkapi.
3. Bagian otak yang mengendalikan emosi akan, akan mengendalikan fungsi tubuh dan kesehatan individu.
4. terdapat tipe belajar yang dominan pada setiap individu yang harus diperhatikan.
5. Ada masa-masa kemandekan belajar sebagai akibat global learning yang harus diperhatikan.
6. Hingga usia 6-7 tahun, anak bagaikan spons menyerap segala inormasi.
7. Di awal perkembangan anak perlu mengembangkan rasa percaya diri.
8. Terdapat hubungan syaraf dan timbal balik dengan pusat emosional limbik.
9. Daya kerja sistem emosional mengirim informasi ke korteks berfikir.
10. Peranan emosi dalam belajar sangat bermakna

Pendidikan Masa Kini yang Berorientasi pada Perkembangan Siswa :
Era globalisasi yang mewarnai kehidupan, sarat akan informasi, cepat berubah dan penuh persaingan, mengiringi manusia untuk tidak sempat beristirahat sekejap pun dari perbuatan kreatif.

Perubahan yang dihasilakn perkembangan itu, menawarkan perluasan wawasan dan gagasan yang terbuka bagi pengembangan kehidupan dan sekaligus melahirkan tantangan yang cukup berat dan mendasar yang menyentuh sendi-sendi kehidupan insani.




















BAGIAN III
GENDER DAN PLURALISME

Pendidikan untuk Pemahaman
Karlina Leksono - Supelli

Filsuf Immanuel Kant menulis bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Tradisi pengalihan pengetahuan secara sistematis yang kemudian berkembang menjadi pendidikan dan pengajaran sudah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu, kemungkinan perkembanganya sebagai sebuah sistem yang kokoh sangat berjalin erat dengan bertumbuhnya tradisi tulis dan percetakan teks tertulis.

Konsekuensi adanya teks tertulis adalah terhantamnya lingkaran hubungan langsung satu-satunya yang familiar, hangat, dan membahagiakan. Tulisan membuat individu-individu saling beranjak satu dari yang lainya.

Buku sebenarnya mempunyai pencapaian kultural yang dahsyat yang membawa
Implikasi ideologis, sosial, dan politis. Idealnya lewat buku dapat berlangsung demokratisasi penyebaran dan pemerolehan pengetahuan.

Buku-Buku Sekolah Dasar : IPS dan PPKN
Pengkajian singkat terhadap buku-buku pelajaran di sekolah dasar memperlihatkan bagaimanan ideologi negara melandasi pemahaman mengenai peran laki-laki dan perempuan, individu, dan masyarakat. Ini menyebabkan penyajian teks sering kali tidak tajam karena dfakta, konsep, dan ideologi tercampur baur.
- Ideologi Negara : Peran Ibu, Bukan Sekedar Tradisi
- Ideologi Negara : Pembangunan, Persatuan, Keselarasan, Musyawarah, dan Lain-Lain
Aku sebagai ”Generalized Others”
Pelajaran PPKn adalah contoh yang baik untuk melihat bahwa kekuasaan bukan hanya bergerak malalui lembaga-lembaga negara, melainkan sebagai strategi kompleks dalam masyarakat. Dengan ini kekuasaan menjadikan sekolah sebagai tempat untuk memproduksi manusia-manusia yang semata-mata harus beradaptasi dengan lingkungan demi keselamatan diri, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk melahirkan pemikiran baru, membuat pilihan,dan mengambil keputusan. Dalamsituasi seperti yang berlangsung selama ini, anak-anak yang mengambil resiko untuk mengembangkan pemikiran atau mengajukan pendapatanya sendiri, akan menerima cap sebagai anak yang tidakbisa diatur.

Ketika anak hanya melihat pola terampatkan yang harus diinternalisasikan sebagai identitasnya, the generalized others, semua ruang untuk diri yang otonom tertutup. Situasi dialektis dengan salah satu kutub adalah manusia dan kutub lainnya adalah dunia kultural yang terus-menerus diciptakan, sepenuhnya ditutup.

Manusia sebagai Makhluk Pemahaman
Pendidikan bertugas menyediakan prinsip-prinsip dasar untuk mengorganisasikan pengalaman. Seseorang yang memahami, memahami dirinya, memproyeksikan dirinya ke dalam kemungkinan-kemungkinannya. Inilah kesadaran hermeneutik yang harus terus-menerus dibangun kan dan dijaga agar bangun, yaitu melalui perjumpaan langsung dengan yang menakjubkan, yang dipertanyakan, yang menantang, yang menolak.

Makhluk Pembelajar
Jika dikembalikan ke konteks pendidikan, maka pemahamanlah yang akan membuat anak mampu menggunakan berbagai informasi baru yang diperolehnya sehingga dapat secara progresif mengorganisasikan dan memperkaya apa yang sudah ia ketahui. Hanya melalui pemahaman dialogis dengan realitas, dan bukan pengalihan pengetahuan tentang realitas atau penanaman ideologi, seseorang akan mampu merekonstruksi dan merevisi kepemahamanya akan dunia lingkungan secara terus-menerus.



Pendidikan Berperspektif Gender
Mary Astuti
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh sekelompok guru di Yogyakarta dan yang dilakukan pleh mahasiswa di Jepang, bahawa ada yang menginginkan perubahan jenis kelamin. Keinginan untuk berubah jenis kelamin lebih banyak terjadi pada kelompok perempuan dibandingkan pada kelompok laki-laki.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat penting. Dengan pendidikan, manusia mendapatkan ilmuu pengetahuan, mendapatkan tata cara bersosialisasi, sehinggaia dapat memperlajari apa yang terjadi dan dapat menghargai serta meningkatkan kualitas hidupnya sejajar dengan manusia lain di dunia.

Ketidakadilan Gender di Rumah
Awal ketidakadilan gender yang terjadi didalam keluarga dapat dikurangi apabila setiap keluarga menyadari dan memahami pentingnya setiap insan pembangunan tanpa memandang jenis kelaminnya. Anak perempuan juga akan dididik untuk dapat bertanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaanyang selama ini dianggap sebagai pekerjaan laki-laki seperti memperbaiki listrik, membantu pekerjaan ayah, dan bahkan menyampaikan pendapatnya.

Bias Gender dalam Pendidikan di Sekolah
Ketidakadilan gender secara formal terus terjadi karena peka dan kurang sadarnya para birokrat di jajaran Departemen Pendidikan. Mereka mengurusi kurikulum dan mengawasi pelaksanaan pendidikan tanpa melakukan evaluasi dengan memperhatikan keadilan gender, oleh karena itu harus ada peningkatankesadaran oleh semua pihak.

Pendidikan Berperspektif Gender
Gender merupakan konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan berdasarkan kepantasan yang berlaku dalam suatu sistem masyarakat.Cara mewujudkan keadilan gender dapat melalui pendidikan, baik yang dilakukan di rumah, di masyarakat, dan juga di sekolah. Peran orang tua juga menentukan, apakah pendidikan yang diterapkanpada anak perempuan dan laki-laki sudah memperhatikan keadilan gender.


Mencari Pendidikan yang Menghargai Pluralisme
Yayah Khisbiyah


Pluralisme dan Konflik
Pluralisme atau kemajemukan adalah suatu keniscayaan : ia pasti didapati pada setiap masyarakat dimanapun. Masalah inilah yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai katastropi sosial yang mengerikan. Dengan ini UNESCO menegaskan kembali bahwa fungsi utama pendidikan bukanlah hanya terbatas pada Learning to know, learning to do dan learning to be, tetapi juga lerning to live together.

Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia
Masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan diktum Bhineka Tunggal Ika. Namun sayangnya, diktum tersebut selama ini hanya menempati kesadaran kognitif masyarakat kebanyakandan menjadi jargon lip sevice penguasa belaka tidak diimplementasikan secara nyata dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari.

Sosialisasi di sekolah yang kurang memfasilitasi pluralisme dalam tiga ranah, yaitu :
a. pluralisme peran gender
b. pluralisme status sosial-ekonomi
c. pluralisme kelompok etnis dan agama

Peran Pendidikan dalam Menyantuni Pluralisme
Beberapa gagasan dasar yang mungkin dapat digunakan sebagai masukan untuk menyusun metode pendidikan yang menyantuni pluralisme, ialah sebagai berikut :
- Menjadikan program Apresiasi Multikultural/Pluralisme sebagai kebijakan nasional oleh Depdiknas.
- Mengembangkan proses dan metode belajar-mengajar yang memanfaatkan sebanyak mungkin potensi sosial .
- Menyediakan tenaga pendidik yang kompeten.
- Memodifikasi kurikulum agar lebih banyak berisi muatan apresiasi dan toleransi kepada budaya dan kelopok lain.
- Mempopulerkan program-program pertukaran budaya.

Pendidikan Toleransi sebagai Wahana Rekonsiliasi Sosial
Dengan bekal sikap toleran dan inklusif, anak didik akan mampu melihat keanekaragaman sebagai khazanah yang memperkaya hidup, bukanya justru sebagai ancaman yang harus diperangi atau sebagai sumber pertentangan dan konflik.

Di tengah kepenatan psikokultural dankegalauan konflik antar kelompok sekarang ini, pendidikan toleransi terasa relevan dan urgen untuk segera dijadikan medium untuk mempererat relasi sosial dan merekonsiliasi perpecahan antara anak bangsa.




Pluralisme dan Konstruktivisme
Ratna Wilis Dahar

Masalah Pluralisme
Masalah pluralisme dapat ditinjau dari segi makro yang menyangkut keragaman dan perbedaan yang terdapat pada bangsa kita, dan dari segi mikro yang terdapat dalam masyarakat terkecil dalam dunia pendidikan, yaitu tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar.
- Pluralisme dalam Masyarakat Kita
Pluralisme dalam masyarakat Indonesia ditinjau secara makro menyangkut antara lain agama, kedaerahan , suku bangsa serta adat istiadat, status ekonomi dan status pendidikan.
- Pluralisme dalam Kelas

Proses Belajar-Mengajar dalam Kelas
Pada umumnya ada anggapan bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh proses belajar-mengajar (PBM) dalam kelas. Karena itu, dilakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan PBM.
- Penelitian - Penelitian tentang PBM
Penelitian kelas yang terakhir ini pula yang diperkirakan dapat menampung masalah pluralisme dalam kelas. Kerumitan yang dimaksud meliputi totalitas dan logika internal PBM.
- Totalitas PBM
Dalam totalitas PBM, karakteristik dan interaksi sosial yang sudah cukup maju dikembangkan, diperhatikan, ialah :
a. komponen guru
b. komponen siswa
c. komponen materi-subjek
- Logika Internal PBM
Totalitas PBM yang telah dikemukakan terdahulu perlu menjadi batasan berfungsinya logika internal yang baru dirumuskan jikaPBM dilihat sebagai hubungan antar-ketergantungan dari komponen-komponen PBM. Interaksi ini membentuk hubungan ketergantungan yang dipusatkan pada interaksi kognitif, yang dapat dianggap sebagai wadah perwujudtan dari logika internal sendiri.

Konstruktivisme
- Perspektif Konstruktivisme
Konstruktivisme sudah terungkap dalam tulisan ahli filsafat, yang mengemukakan bahwa orang hanya dapat benar-benar memahami apa yang dikonstruksinya sendiri.
Para konstruktivisme sosial menekankan bentuk-bentuk bahasa untuk mempermudah konstruksi kebermaknaan anak, antara lain : pertanyaan dengan ujung terbuka, menulis kreatif, eksplanasi siswa, dialog kelas, dan lain-lain.
- Konsepsi Anak : Status dan Perkembangannya
Ada dua konsepsi anak, yaitu :
1. Bersifat Pribadi : setiap anak ”melihat” dan menginterpretasikan eksperimen itu menurut caranya sendiri.
2. Bersifat Stabil : kerap kali terlihat bahwa konsepsi anak yang berbeda dari gagasan ilmiah ini tetap dipertahankan anak, walaupun guru sudah berusaha memberikan kenyataan yang berlawanan.

Konstruktivisme dalam Kelas
Dalam masalah pluralisme dalam pendidikan dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu :
a. Dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang merupakan dampak dari sifat pluralistik
b. Dari sifat konsepsi anak yang terungkap selama proses belajar-mengajar berlangsung.













BAGIAN IV
PENDIDIKAN RASA


Pendidikan yang Memekarkan Rasa
I Ketut Sumarta

Poros Rasa
Dari Achenbach kita menjadi tahu bahwa tindak kekerasan itu senantiasa menunjukkan korelasinya yang berbanding terbalik dengan kepekaan rasa. Makin peka rasa seseorang, berarti makin cerdas budinya, maka dorongan untuk berlaku kekerasan pun akan terkendali, begitu sebaliknya.

Pengakaran Rasa Estetis
Pendidikan estetis dimaksudkan untuk menghaluskan perasaan lewat penumbuhan rasa indah. Seni yang dianjurkan, antara lain seni suara, musik, menggambar dengan warna, sandiwara, wayang, seni tari yang memang sudah dikenal di masing-masing daerah, termasuk seni permainan anak-anak.

Dari kepekaan rasa estetis inilah dapat diukur kadar etis, moralitas, bahkan juga religiositas seseorang, sehingga pencapaian di bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi tetap berada dalam kerangka pengabdian untuk peningkatan harkat kemanusiaan bersama.

Rasa Estetis dan Kebinekaan
Kebinekaan, keragaman, atau pluralitas itu tidaklah terbatas yang dirumuskan secara politis sebagai SARA. Kebinekaan dalam konteks realitas kesehariaanya justru hadir berlapis-lapis antar lingkup semesta. Semua ini mempersyaratkan adanya keadilan dan kemerdekaan. Dengan rasa kebhinekaan dengan pendidikan terhadap anak harus ditingkatkan.

Menuju Sosok Generasi yang Besar Kepalanya dan Kecil Hatinya
St. Kartono

Materi Pelajaran : Tahu Sedikit tentang Banyak
Tujuan pendidikan menengah bertujuan meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.

Berjejalnya materi semakin terasa membebani para guru dan siswa jika mengikuti pengaturan libur dalam kalender akademis yang ditetapkan pihak depdiknas.
Pihak departemen hanya berpijak pada hitungan jumlah hari efektif yang terpenuhi. Bukan pada praktis pendidikan yang ada di dalamnya. Inilah yang sangat disayangkan.

Evaluasi : Mudahnya Naik Kelas
Idealisme kurikulum yang tampaknya dalam materi ternyata belum dibarengi mekanisme evaluasi atau penilaian hasil belajar. Mestinya sebuah penilaian dalam konteks pendidikan baru bersifat menyeluruh jika mencakup aspek proses dan hasil belajar, yang secara bertahap menggambarkan sikap dan prilaku. Prilaku dalam hal ini menyangkut pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sehingga benar-benar harus ada evaluasi terhadap suatu individu untuk memutuskan kenaikan kelas.

Guru : Menyesuaikan Tuntutan Kurikulum
Dalam buku ini Fuad Hassan menegaskan bahwa tanpa guru yang dapat diandalkan penguasaan materinya, mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana yang diidealkan. Maka, prasyarat utama terlaksananya kurikulum proses belajar-mengajar yang menjamin optimalisasi hasil pembelajaran adalah tersedianya guru dengan kualifikasi dan kompetensi yang mampu memenuhi tuntutan tugasnya.


Mengabaikan Ekstrakurikuler
Jika keutuhan proses pendidikan mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, maka terlihat jelas bahwa supremasi akal alias kognitif yang menyemangati kurikulum 1994. ada satu unsur program pengajaran dalam kurikulum yang tidak digarap dengan sungguh yakni kegiatan ekstrakurikuler.

Sifat ekstrakurikuler yang tidak wajib dan tidak berkait langsung dengan penilaian akademis yang ditulis di rapor, banyak sekolah yang tidak melaksanakanya. Karena keterbatasan fasilitas, pembimbing, atau pendanaan menjadi alasan utama untuk tidak menyelenggarakan ekstrakurikuler. Padahal kegiatan ini penting untuk perkembangan siswa, dan perkembangan sosial.

Simpulan Menuju Solusi
Jika menilik kembali tujuan pendidikan menengah umum yang menyiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka yang terjadi adalah penyiapan peserta didik secara terus-menerus agar di terima di perguruan tinggi.

Untuk kehidupan berbangsa dalam jangka panjang, dibutuhkan generasi yang terbekali secara utuh seluruh aspek pribadinya. Satu hal yang dapat ditawarkan untuk menggenapi capaian Kurikulum 1=94 yang sedang berjalan adalah model-model pengajaran yang mampu memberikan bobot pada pembentukan pribadi siswa.

Memberikan Ruang Refleksi
Proses refleksi adalah basis utama model pendidikan reflektif. Memperkenalkan proses refleksi dalam pengajaran berarti menyetarakan posisi pengajaran dan siswa sebagai posisi yang sama-sama berinisiatif. Refleksi adalah proses yang mengajak siswa untuk mengendapkan arti manusiawi tentang materi yang dipelajari dan pentingnya bagi sesama.
Jika sempatan refleksi disertakan dalam proses penyampaian materi pelajaran, maka istilah penjejalan materi bahkan mengobjekkan siswa sekedar target kurikulum tidak perlu terjadi. Siswa tetaplah diposisikan sebagai sosok pribadi yang perlu berkembang utuh sesuai kodrat perkembangannya.


Spresiasi Seni dan Budaya dalam Pendidikan
Juju Masunah

Pendidikan Seni di Sekolah
Dewasa ini pendidikan formal di sekolah mempunyai peranan yang cukup besar dalam membentuk manusia. Di sekolah umum, pendidikan seni merupakan salah satu mata pelajaran yang mengisi kurikulum kesekolahan, disamping pendidikan agama, pancasila, matematika, dan bahasa Indonesia. Namun, saat ini pendidikan seni disekolah umum belum mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu persoalan itu terkait dengan kebijakan pemerintah pada arah pembangunan suatu bangsa sehingga mempengaruhi pada sistem pendidikan termasuk didalamnya kurikulum, alokasi waktu, penyediaan sarana dan prasarana, tenaga pendidik, dan lain-lain.

Pendidikan Seni yang Membumi
- Bahan Ajar dalam Kurikulum Nasional
Dengan bahan ajar sesuai kurikulum, proses belajar-mengajar hanya dapat disampaikan secara teoretis yang mengutamakan aspek ingatan atau hafalan. Siswa tidak mendapatkan pengalaman kesenian. Dampak dari pembelajaran demikian adalah pendidikan seni di sekolah formal menjadi kurang bermakna bagi kehidupan dan hanya mendukung penyerapan budaya asing lebih cepat yang ditawarkan melalui media massa audio visual.


- Bahan Ajar dari Budaya Setempat
Penggunaan bahan ajar yang disesuaikan dengan budaya setempat dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air. Dan dapat sekaligus mengembangkan budaya lokal agar tidak tergerus mati oleh peradapan zaman yang semakin cepat dengan masuknya budaya barat.

- Cara Pendekatan Pembelajaran
Untuk pembelajaran apresiasi seni ini digunakan cara pendekatan aplikatif dan kesejarahan. Menurut penelitian, terutama dalam psikologi musik, telah membuktikan sepenuhnya bahwa sesuatu yang tidak dialami secara praktek sama sekali tidak dapat dipahami secara utuh. Sehingga harus ada pendekatan khusus dalam pembelajaran, salah satunya melalui kesenian bermusik.

Apresiasi Seni bagi Siswa
Reaksi siswa terhadap pembelajaran memiliki hubungan dengan sikap apresiasi seni. Sikap apresiasi seni dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu :
a. Aspek prilaku motorik
Terlihat pada kemampuan berkreasi musik dan tari.
b. Aspek pengetahuan
Diamati melalui tugas-tugas yang diberikan dan tes akhir sesuai dengan materi pembelajaran.
c. Aspek perasaan
Berkaitan dengan aspek prilaku motorik dan aspek pengetahuan. Terlihat pada sensitivitas dalam gabungan kedua aspek tersebut.

Profesionalisme Guru Pendidikan Seni
Terjadi perubahan terhadap cara belajar dan daya tangkap siswa yang telah melakukan pendidikan melalui pendekatan seni. Siswa yang telah melakukanya melalui media audio visualdan alat angklung sera topeng, misalnya, perilaku siswa akan lebih aktif menjawab pembelajarannya dibandingkan ketika menggunakan seni secara teoritis saja tanpa praktek. Sehingga semangat mengajar pun menjadi meningkat.

Apresiasi dan Upaya Bersama
Untuk menigkatkan apresiasi seni dan budaya dalam pendidikan di Indonesia diperluhkan jalinan kerja sama yang bahu membahu dari berbagai pihak. Isi kurikulum pada jenjang perguruan tinggi yang menyiapkan calon-calon guru seni mesti memperhatikan seni dan budaya Indonesia. Untuk membantu memberikan berkesenian diperluhkan peran keluarga dan masyarakat. Orang tua dapat mendidik anak dapat melalui pendekatan melalui nuansa berkesenian. Sehingga semua pihak dapat saling berkesenian.

Bila semua masalah dapat diluruskan, maka apresiasi seni dan budaya dalam pendidikan di Indonesia akan mengikuti dinamika perkembangan masyarakat. Apabila masyarakat sudah mampu mengapresiasikan seni dan budayanya, maka impian lahirnya masyarakat madani yang bersandar pada kreativitas akan terwujud menjadi masyarakat yang sehat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah...ini buku yang bagus sekali dan sudah lama saya cari-cari tapi selalu out of stock di toko-toko buku, dan sudah tidak dicetak lagi.
Seandainya boleh, apa saya bisa mohon bantuan untuk dicopykan?
Nanti untuk biaya copy dan pengiriman akan saya tanggung.
Terima kasih.