Minggu, 15 Februari 2009

Pendidikan Menengah : Pemerintah Alokasikan Rp 500 Miliar Untuk Perbanyak SMK

Pemerintah mengalokasikan dana total Rp 500 miliar untuk membantu pemerintah daerah memperbanyak pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di berbagai daerah, khususnya SMK yang bertaraf internasional.

"Depdiknas siap membantu melakukan studi kelayakan bagi Pemda yang berniat untuk mengubah SMA menjadi SMK serta mengembangkan SMK-SMK baru sesuai dengan target pemerintah hingga 209 nanti," kata Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdiknas, Suyanto pada jumpa pers di sela-sela acara Rembug Nasional Pendidikan 2006 di Sawangan, Bogor, Jumat (21/4).

Ia menyatakan, keinginan sejumlah daerah untuk mengubah SMA menjadi SMK sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memperbanyak sekolah menengah kejuruan (SMK) dan mengurangi sekolah menengah atas (SMA). Depdiknas mengharapkan perbandingan SMK dan SMA 70:30 pada 2009.

Saat ini, rasio SMK dengan SMA masih 30:70. Target pada 2008 menjadi 40:60 dan pada 2009 rasio perbandingan SMK dengan SMA menjadi 70:30.

Sedangkan, selisih siswa SMA dengan SMK saat ini sebanyak dua juta orang. Secara perlahan-lahan dengan analisis yang tepat peralihan sekolah itu akan dilakukan, katanya.

Dirjen mengatakan untuk membuat SMK yang bermutu dan bertaraf internasional serta lulusannya bisa diandalkan di pasar kerja membutuhkan Rp 22 miliar untuk satu sekolah. SMK untuk bisa disebut bertaraf internasional minimal harus membangun fasilitas seperti laboratorium, juga memiliki jaringan kerja perusahaan di luar negeri.

Tujuan untuk terus memperbanyak SMK, menurut Suyanto, karena lulusan SMK lebih mudah masuk ke aspar kerja ketimbang lulusan SMA karena umumnya mata pelajaran di SMK sudah disertai dengan praktik keterampilan.

Siswa SMA yang tidak bekerja atau tidak melanjutkan ke perguruan tinggi menyumbang jumlah pengangguran yang saat ini jumlahnya mencapai 40 juta orang. Harapannya dengan diubah dari SMA ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) supaya mereka bisa bekerja pada orang lain atau membuka lapangan kerja sendiri.

"Memperbanyak SMK itu relevan sekali. Sebab, lulusan SMA memberikan sumbangan yang besar terhadap pengangguran di Indonesia," kata Suyanto.

Ia mengatakan, Depdiknas siap membantu daerah-daerah yang ingin mendirikan SMK, baik berupa bantuan guru-guru maupun program, kurikulum, dan bantuan menentukan jenis SMK yang cocok untuk suatu daerah.

Namun demikian, SMK itu juga harus sesuai dengan potensi wilayah dan kebijakan daerah itu di masa mendatang.

Alternatif lainnya ada program penyisipan SMK di SMA. Artinya, selama ini jurusan yang terkait dengan kejuruan dimasukkan dalam salah satu jurusan di SMP, kini dialihkan juga ke SMA.

Dalam kaitan ini, Bupati Bantul, Jateng M Idham Samawi dan Bupati Ende, Flores, NTT Paulinus Domi yang hadir dalam acara itu menyambut baik program penyisipan tersebut dan siap menindaklanjutinya dengan Depdiknas soal teknisnya.

Sebelumnya, Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Depdiknas, Gatot Hari Prijowirjanto yang bertindak sebagai ketua seksi substansi Rembug Nasional mengatakan Depdiknas siap membantu daerah-daerah yang ingin mendirikan SMK, baik dalam bentuk bantuan guru-guru, program, kurikulum, maupun bantuan untuk menentukan jenis SMK yang cocok untuk suatu daerah.

"SMK itu juga harus sesuai dengan potensi wilayah dan kebijakan daerah itu pada masa mendatang," ujarnya.

Menanggapi usulan tersebut Bupati Bantul, Jateng, M Idham Samawi dan Bupati Ende, Flores, NTT Paulinus Domi yang hadir dalam acara itu menyambut baik program penyisipan tersebut dan siap menindaklanjutinya terkait teknis pelaksanaannya.

Bupati Bantul mengakui lulusan SMA lebih banyak menganggur ketimbang lulusan SMK, khususnya di wilayahnya. Contohnya, dari total 6.267 lulusan SMA yang menjadi penganggur 4.200 orang. Sisanya, sebanyak 1.114 orang meneruskan kuliah dan 911 lulusan bekerja.

Mengantisipasi hal tersebut, Bantul juga menyiapkan untuk membangun lima SMK di wilayahnya. Antara lain, SMK Kelautan dan SMK Pertukangan.

"Kami sudah menyetop izin untuk membangun SMA baru, tapi akan terus memperbanyak SMK," katanya sambil menambahkan rasio SMK dan SMA di wilayahnya bahkan sudah mencapai 40:60.

Sedangkan, Bupati Ende Paulinus Domi mengatakan kebijakan untuk memperbanyak SMK itu perlu didukung dengan bantuan guru-guru dan prasarana lainnya. Sekarang ini di Ende terdapat tujuh SMK dan 20 SMA.

"Kami siap melakukan program yang ditawarkan itu dengan istilah SMA terpadu itu, yaitu penyisipan jurusan SMK di SMA. Bahkan, saat ini fokus anggaran kabupaten lebih banyak ke sektor pendidikan. Untuk 2007 mendatang diharapkan sudah mencapai minimal 20 persen.

Sumber :
(http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=849&Itemid=700)

Pendidikan Korupsi di Sekolah Menengah Masih Kurang

YOGYAKARTA, RABU - Pendidikan korupsi di sekolah menengah masih dianggap kurang. Para siswa jarang diajarkan tentang seluk-beluk tindak korupsi, termasuk transparansi dalam penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah.

Pendidikan korupsi di sekolah tidak ada. Untuk pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) pun hanya disinggung sedikit, kata Rizky Bayu Premana, Koordinator aksi damai Kampanye Simpatik 100 Pelajar se-DIY Peserta Sekolah Antikorupsi Clean Generation, di perempatan kantor Pos Besar Yogyakarta, Rabu (24/9) sore.

Aksi damai ini menjadi salah satu bagian dari sekolah anti korupsi (semacam pesantren kilat) yang diikuti oleh pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS) dan kehiatan rohani Islam (rohis) dari 20 sekolah di DIY.

Pelatihan yang dimotori oleh Forum Pemuda Anti Korupsi (FPAK) bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat Kemitraan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini berlangsung 23-25 September, dengan pemberian materi seputar korupsi, pembahasan kasus-kasus korupsi, dan diskusi antarpeserta.

Ketua FPAK Suraji mengatakan pelatihan ini merupakan rangkaian awal dari program yang direncanakan akan berlangsung selama setahun penuh. " Nantinya, sebanyak seratus siswa SMA di DIY setiap bulan akan mendapat pelatihan antokorupsi ini," katanya.

Lebih jauh, Suraji mengatakan pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan informasi secara mendalam seputar korupsi kepada siswa-siwa tersebut. "Kalau mereka sudah paham, maka mereka bisa mengetahui dan ikut mengawasi jika terdapat praktek-praktek korupsi di lingkungan sekitar mereka," katanya.

Pasalnya, Suraji melihat sekolah sebagai lembaga pendidikan selama ini menjadi sangat rentan terhadap berbagai praktek korupsi. Hal ini tidak terlepas dari begitu banyaknya dana yang dialokasikan untuk program-program pendidikan oleh pemerintah seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Sasaran pelatihan pada anak SMA juga dilandasi pemikiran bahwa remaja merupakan usia paling produktif dan relatif lebih mudah dalam menyerap pengetahuan dibanding kelompok usia lain. Penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini juga dinilai sebagai investasi jangka panjang yang akan menguntungkan di masa depan.

Manfaat pelatihan dirasakan langsung oleh peserta. Menurut Rizky dirinya memeroleh banyak pengetahuan, mulai dari posisi Indonesia yang ternyata menduduki peringkat keempat negara paling korup di dunia, hingga bagaimana cara generasi muda ikut serta memberantas korupsi. Ada tiga cara memberantas korupsi, yakni dengan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, ujarnya.

Sumber :
(http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/24/19373825/pendidikan.korupsi.di.sekolah.menengah.masih.kurang.)

Relevankah Pendidikan Menengah?

Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.

Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).

Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.

Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.

Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.

Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?

Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).

Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?

Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.

Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.

Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.

Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.

Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.

Sumber :
(http://ruangjeda.blogspot.com/2008/08/relevankah-pendidikan-menengah.html)

Australia Bantu Rp. 30 Milyar untuk Program Pendidikan Dasar Indonesia

Pemerintah Australia menambah dukungan bagi program Penciptaan Komunitas Belajar bagi Anak (Creating Learning Communities for Children -- CLCC) sebuah program yang dikelola UNICEF/UNESCO untuk memperbaiki pendidikan dasar di Indonesia.

Dilaksanakan bersama lembaga-lembaga di bawah Pemerintah Indonesia, CLCC telah berjalan di 637 sekolah pada 27 kabupaten dan hasilnya akan bermanfaat bagi sekitar 110,000 anak.

“Saya gembira dapat mengumumkan di sini bahwa Australia akan menyumbangkan A$ 5 juta {sekitar Rp. 30 Milyar} bagi program ini,” kata Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, dalam pernyataan persnya Senin 8 Desember 2003. “Lewat bantuan ini, kegiatan CLCC dapat diperluas dengan tambahan 624 sekolah lain di 13 kabupaten yang berbeda.”

Pemerintah Australia memiliki komitmen yang serius untuk memperluas jangkauan dukungannya dalam bidang pendidikan dasar di Indonesia, termasuk pada sistem sekolah Islam utama (mainstream Islamic school system). Bantuan ini bertujuan agar program CLCC dapat tersebar secara benar-benar merata ke sejumlah besar sekolah sekuler dan madrasah.

Program CLCC difokuskan pada pendidikan dasar dan membantu Pemda-pemda kabupaten dalam perencanaan dan penyampaian layanan pendidikan dasar sejalan dengan kebijakan pendidikan Pemerintah Indonesia.

Jelas bahwa sejauh ini program CLCC telah berhasil memenuhi kebutuhan pendidikan dasar di Indonesia, termasuk dalam urusan pembiayaan, dukungan masyarakat dan perbaikan mutu dan kelayakan pendidikan.



Sumber :
(http://www.indo.ausaid.gov.au/bi/media/2003/sp9basiced.html)

Kualitas Pendidikan Dasar Indonesia di Bawah Kamboja

Jakarta - Ironis. Ungkapan ini cukup tepat untuk menggambarkan komitmen pemerintah terhadap peningkatan pendidikan dasar. Posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Duh!

Peringkat ini dilansir dari laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga PBB, Unesco. Penelitian terhadap kualitas pendidikan dasar ini dilakukan oleh Asian South Pacific Beurau of Adult Education (ASPBAE) dan Global Campaign for Education. Studi dilakukan di 14 negara pada bulan Maret-Juni 2005. Laporan ini dipublikasikan pada 24 Juni lalu.

Rangking pertama diduduki Thailand, kemudian disusul Malaysia, Sri Langka, Filipina, Cina, Vietnam, Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Nepal, Papua Nugini, Kep. Solomon, dan Pakistan.

Indonesia mendapat nilai 42 dari 100 dan memiliki rata-rata E. Untuk aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia mendapat nilai C dan menduduki peringkat ke 7. Pada aspek aksi negara, RI memperoleh huruf mutu F pada peringkat ke 11. Sedangkan aspek kualitas input/pengajar, RI diberi nilai E dan menduduki peringkat paling buncit alias ke 14. Indonesia hanya bagus pada aspek kesetaraan jender B dan kesetaraan keseluruhan yang mendapat nilai B serta mendapat peringkat 6 dan 4.

"Sangat ironis karena Thailand yang mengalami krisis bisa menempatkan diri menjadi rangking satu," ujar aktivis LSM Education Network for Justice (E-Net), M Firdaus, saat menjadi pembicara dalam seminar pendidikan mengenai laporan ini di Gedung YTKI, Jl Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Rabu (29/6/2005).

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, Fasli Jalal, menganggap laporan tersebut memang tidak jauh dari kenyataan. Faktor utamanya adalah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar.

Untuk itu, pada tahun ajaran 2005, Depdiknas akan mencanangkan pendidikan gratis untuk tingkat SD dan SMP. "Pungutan sekolah akan ditiadakan," ujarnya.

Meski, lanjut dia, proses pengucuran dana ke sekolah akan mengalami keterlambatan dan baru tiba pada Agustus mendatang. "Uang SPP yang sudah dipungut tetap akan dikembalikan ke orangtua secara utuh," tukasnya.

Namun, status cuma-cuma itu tidak diterapkan untuk sekolah swasta. Depdiknas tetap membolehkan sekolah swasta menarik uang bayaran. "Yang jelas, kami mengharuskan 10 persen peserta didik di sekolah swasta ditujukan untuk keluarga yang tidak mampu. Mereka pun harus tetap digratiskan," tegas Fasli.

Namun, sekolah gratis ini masih belum diberlakukan untuk kategori Sekolah Teknik Menengah (STM). Alasannya, STM belum masuk dalam kriteria wajib belajar. "Kami akan tetap memperbanyak jumlah beasiswa," tandasnya.

Mina Sarjuani dari Direktur Agama dan Pendidikan Bapennas merinci pemerintah mengalokasikan biaya operasional untuk 28,89 juta siswa SD Rp 235.000 persiswa setiap tahunnya. Sedangkan untuk 10,74 juta siswa SMP akan dikucurkan dana Rp 324.500 persiswa setiap tahunnya.
Sumber :
(http://new.detiknews.com/read/2005/06/29/134044/392773/10/kualitas-pendidikan-dasar-indonesia-di-bawah-kamboja)
Anggara Lukita

Mau ke Mana Pendidikan Dasar Kita?

MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah memperoleh akses pendidikan dasar. Meski
demikian, kita juga perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri inilah, saya tidak tahu kita harus menangis atau tertawa
jika menengok aneka indikator yang tersedia untuk dikaji.
Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata Lama Pendidikan, menunjukkan angka- angka
yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad. Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7
atau setara dengan lulus SLTP), terutama Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah
Nusa Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau tidak sampai kelas III
SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan nasional pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan
0-10 tahun seharusnya sudah berganti dengan mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari kita memeriksa dua
indikator penting sebagai berikut:

Akses terhadap pendidikan

Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita yang dapat
memanfaatkan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator yang digunakan adalah:
Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah, Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka
Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua
indikator cukup memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS: 98,53), berarti
hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7
persen) cukup rendah.

Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski kebanyakan
anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat
waktu (enam tahun). Angka Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya
melanjutkan ke SMP/MTs.

Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan
yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan
Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah.
Sekali lagi yang mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan
sekolah tepat waktu.

Kualitas pendidikan

Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas
pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat
SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60 persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat
merisaukan. Jika standar kualitas itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12
persen SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang tergolong "baik sekali"
dan 2,14 persen tergolong "baik".

Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang diperoleh
adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas
memang tidak merata, terutama antara kota dan desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI
maupun SMP/ MTs yang harus melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan.
Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs yang ada meski tanpa
ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan
atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan, kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI
berkategori "baik" dan pada tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.

Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk
mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru
SMP/MTs yang memenuhi standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia.
Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku
adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Angka akses terhadap buku
menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku
wajib yang berkisar dari 38,8 persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku
IPA).

Mencari solusi

Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar dari
37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas.
Selain akses, mutu dari isi pelajaran juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh,
ditemukan isi buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku teks geografi
SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.

Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di lingkungan departemen.
Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu. Meski demikian, ada aneka masalah lain yang
diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah,
masyarakat mampu menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan,
yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan (jajan) untuk anak. Pada
tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih
dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos
transpor dan makanan anak sendiri.

Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain,
khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat berbeda sehingga menciptakan
kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam
skala amat kecil sehingga anak tidak terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena
sensitif.
Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang pasir.
Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten (Depdagri melalui kantor dinas). Selain
persoalan korupsi, tidak semua pemerintah lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.
Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak zaman
yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena
tidak menjanjikan kesejahteraan finansial dan penghargaan profesional.
Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan
pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai wacana seperti dalam grafik berikut.
(grafik)

Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001 adalah yang terendah.
Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.
Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita justru sibuk mengutak-atik
kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan
menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua
yang kita lakukan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk menyelesaikan
hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana
anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai.
Semoga tidak demikian!

Sumber :
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/12/opini/1744895.htm)

Irwanto Dosen Fakultas Psikologi, Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya, Jakarta

Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan

SUDAH lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.

TERLEBIH lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.

Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education.

Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.

Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.

Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.

Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan.

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.

Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.

MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.

Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.

Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang.

Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan.

"Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.

SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.

Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.

Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.

Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.

Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.

Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.

Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun.

Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.

Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.

Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi.

Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?

Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.

Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.

Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju?

Sumber :
(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/03/PendDN/1724964.htm)
Indira Permanasari

Menuju Pendidikan Dasar Yang Bermutu Dan Efisien Dalam Era Otonomi Daerah

PENDAHULUAN

Makalah ini disajikan dalam Seminar Pendidikan yang mengambil tema “Peningkatan Mutu dan Efisiensi Pendidikan Dasar dalam rangka Standar Pelayanan Dasar”. Oleh para pembicara terdahulu telah dikemukakan pentingnya Pendidikan Dasar bagi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu makalah ini tidak akan lagi membicarakan hal itu dan secara langsung mengemukakan berbagai faktor yang mempengaruhi terwujudnya Pendidikan Dasar yang Bermutu dan Efisien.

Meskipun demikian masih terasa perlu untuk menegaskan bahwa tanpa Pendidikan Dasar yang meluas dan bermutu, satu bangsa sukar mencapai tingkat kemajuan dan kesejahteraan yang memuaskan. Sebaliknya di semua negara maju ada Pendidikan Dasar yang menjangkau semua anak didik serta mutunya tinggi. Sebab itu pembuatan Undang-Undang Wajib Belajar 9 tahun di Indonesia adalah tepat sekali. Akan tetapi sayang sekali pelaksanaannya kurang memadai sehingga menjadi kurang berguna bagi bangsa kita. Di masa depan perbaikan Pendidikan Dasar, baik dalam jangkauannya mencapai setiap anak didik maupun dalam mutunya yang makin dapat menyamai keadaan di negara maju, merupakan keperluan yang tidak dapat kita abaikan.

Untuk dapat mewujudkan Pendidikan Dasar yang Bermutu dan Efisien terdapat enam faktor utama yang mempunyai pengaruh menentukan terhadap tercapainya tujuan itu, yaitu :

  1. Budaya Pendidikan
  2. Masyarakat
  3. Pemerintah
  4. Pimpinan Sekolah dan Inspeksi Pendidikan
  5. Guru
  6. Orang Tua Murid.

Setiap faktor ini perlu kita bahas untuk memperoleh kejelasan peran apa yang perlu diberikan untuk dapat terwujud Pendidikan Dasar yang Bermutu dan Efisien.

BUDAYA PENDIDIKAN

Budaya Pendidikan yang sekarang masih terdapat di Indonesia pada umumnya kurang menunjang terhadap perwujudan pendidikan yang bermutu. Pada umumnya masih ada sikap dan pandangan yang mungkin cocok untuk kehidupan masyarakat lima puluh tahun yang lalu. Akan tetapi untuk masa kini dan masa depan sudah tidak sesuai lagi.

Ada kemajuan bahwa sentralisme sudah dianggap tidak sesuai dengan keperluan pendidikan yang baik. Dan ada usaha permulaan untuk melakukan desentralisasi dan otonomi pendidikan. Namun usaha ini masih pada tahap permulaan sekali dan menghadapi cukup banyak masalah. Malahan ada di antara mereka yang mendapat otonomi dan desentralisasi wewenang menunjukkan sikap yang kurang siap dan bahkan enggan untuk menjalankan perannya yang baru. Rupanya sentralisme begitu kuat mempengaruhi mereka sehingga mereka lebih bahagia kalau hanya menjalankan peran pelaksana belaka dari semua hal yang diputuskan di Pusat. Hal demikian tentu merupakan rintangan terhadap perubahan budaya pendidikan yang diperlukan untuk memperoleh mutu pendidikan yang lebih tinggi. Budaya pendidikan baru memerlukan terlaksananya otonomi dan desentralisasi yang sudah menjadi keputusan kita bersama dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Inti dari budaya pendidikan baru yang perlu ditegakkan adalah terwujudnya pendidikan yang menempatkan Anak Didik sebagai titik sentral. Hingga kini yang menjadi titik sentral adalah Pemerintah dengan berbagai peraturannya. Andai kata yang menjadi titik sentral adalah Guru sebagai pendidik langsung kepada murid di sekolah, masih lumayan. Akan tetapi ini pun untuk masa kini dan masa depan tidak memadai lagi. Sebab dalam kondisi umat manusia dewasa ini titik sentral yang diletakkan pada Guru pun sudah ketinggalan zaman, apalagi kalau Pemerintah yang menjadi titik sentral.

Dalam budaya pendidikan yang sekarang kita perlukan titik sentral ditempatkan pada Anak Didik dengan maksud agar segala potensi positif yang terkandung pada dirinya dapat berkembang dengan leluasa serta menjadikannya manusia yang lebih bernilai, baik dilihat dari segi Inteligensi Rasional (IQ), Inteligensi Emosional (EQ) maupun Inteligensi Spiritual (SQ). Di samping hal-hal yang bersifat rohaniah ini juga diharapkan berkembang kondisi jasmaniah Anak Didik untuk menjadi manusia yang sehat kuat dan mandiri lahir batin. Dengan sikap demikian dapat diharapkan bahwa besarnya penduduk Indonesia yang sudah melampaui 200 juta orang dan hidupnya tersebar di wilayah nusantara yang dapat dinamakan benua maritim, ada maknanya. Budaya pendidikan ini merupakan landasan bagi terwujudnya masyarakat yang maju, adil dan sejahtera lahir batin

Semua faktor lainnya yang telah disebutkan mengusahakan agar Budaya pendidikan itu terwujud sesuai dengan perannya di bidang masing-masing.

PEMERINTAH

Yang dimaksudkan dengan Pemerintah adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, baik yang eksekutif maupun legislatif. Pemerintah harus menyadari sepenuhnya kehendak UUD 1945 yang mewajibkan Negara Republik Indonesia menciptakan kecerdasan kehidupan bangsa serta kesejahteraan rakyatnya. Dan pula menyadari bahwa jalan utama untuk mencapai itu adalah melalui pendidikan. Sebab itu Pemerintah harus mempunyai sikap bahwa investasi terpenting dan terbaik yang harus dilakukan adalah dalam pendidikan khususnya dan peningkatan mutu sumberdaya manusia pada umumnya. Pemerintah Daerah harus melaksanakan program Wajib Belajar dengan sungguh-sungguh serta membiayai sepenuhnya Pendidikan Dasar tanpa murid harus membayar.

Pemerintah harus selalu mengusahakan untuk dapat mengarahkan sekurang-kurangnya 4 prosen dari GDP atau 25 prosen dari APBN untuk anggaran pendidikan. Hal ini harus diusahakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan kemampuan masyarakat. Pemerintah harus menyadari dan menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan yang baik memerlukan sumberdaya yang tidak sedikit. Akan tetapi bahwa hasil dari pendidikan yang baik akan memberikan manfaat yang berlimpah bagi seluruh pihak dalam berbagai aspek kehidupan.

Pemerintah harus bersikap sesuai dengan Budaya Pendidikan. Konsekuensinya adalah bahwa perlu ada desentralisasi dan otonomi yang luas. Pemerintah Pusat memberikan otonomi kepada Pemerintah Daerah, kecuali dalam hal yang hanya dapat dilakukan secara efektif oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menentukan pembagian keuangan yang adil dan rasional yang memungkinkan otonomi berjalan efektif. Pada tingkatnya Pemerintah Daerah memberikan otonomi kepada lembaga-lembaga pendidikan agar setiap lembaga pendidikan dapat mengembangkan kreativitas pimpinan dan anggotanya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, termasuk terwujudnya Budaya Pendidikan dalam setiap lembaga pendidikan.

Pemerintah Pusat menetapkan ketentuan pokok mengenai pelaksanaan pendidikan untuk menjamin standard mutu yang bersifat nasional. Hal ini penting sekali untuk menjadikan manusia Indonesia mampu bersaing secara internasional dalam setiap bidang kehidupan. Semua lembaga Pendidikan Dasar harus mengusahakan terwujudnya standard mutu ini, baik yang milik Pemerintah maupun Swasta, demikian pula yang berorientasi agama seperti Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Setiap Daerah melaksanakan ketentuan pokok dari Pemerintah Pusat dan menambahnya dengan ketentuan berdasarkan kondisi dan keperluan Daerah masing-masing, tetapi tanpa mengurangi standard mutu yang harus dicapai. Dalam hal kurikulum itu berarti bahwa Depdiknas menetapkan kurikulum inti (core curriculum) dan setiap Daerah melengkapinya sesuai dengan keperluan di setiap Daerah.

Pemerintah menjaga agar kondisi negara dan masyarakat memungkinkan terwujudnya pendidikan yang baik. Harus disadari bahwa tanpa ada sistem tata nilai yang jelas dan berlaku dalam masyarakat pendidikan sukar mencapai tujuannya. Kepemimpinan dan manajemen Pemerintah harus dapat menegakkan tata nilai Panca Sila yang sudah dimufakati bersama oleh seluruh bangsa sejak permulaan kemerdekaan. Demikian pula penegakan disiplin dan tata tertib masyarakat sangat mendukung pelaksanaan pendidikan, khususnya Pendidikan Dasar. Masalah keamanan harus dapat dikendalikan dengan baik, sehingga tingkat kriminalitas rendah. Hal ini semua penting karena pengaruhnya besar untuk mendidik Anak menjadi manusia yang jujur dan dapat dipercaya, yang berdisiplin dan menghargai tata tertib, yang gemar bekerja rajin dan rapih, yang mengusahakan kebersihan lahir batin, yang pandai hidup dan bekerja bersama orang lain.

Pemerintah Pusat dan Daerah harus mengusahakan pemasukan (revenues) yang memadai jumlahnya untuk dapat membuat pengeluaran yang diperlukan. Penarikan pajak adalah hal yang tidak dapat diabaikan. Untuk itu ekonomi nasional dan daerah harus maju. Karena itu Pemerintah wajib mengusahakan perkembangan ekonomi dan bisnis yang meliputi seluruh masyarakat secara merata. Selain itu Pemerintahharus mencari jalan bagaimana dapat meningkatkan penghasilan para tenaga pendidikan, khususnya Guru, agar profesi Guru dan semua pekerjaan pendidikan menjadi terhormat dan mempunyai daya penarik semestinya.

MASYARAKAT

Peran Masyarakat dalam pendidikan sangat penting. Sebab dalam negara dengan sistem demokrasi Pemerintah dibentuk oleh Masyarakat melalui proses politik yang dimufakati bersama. Untuk mempunyai Pemerintah yang tinggi kesadarannya mengenai pendidikan, faktor penentu adalah Masyarakat.

Masyarakat dalam kenyataan terdiri atas berbagai unsur, baik partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan berbagai organisasi masyarakat. Seluruh atau bagian terbesar Masyarakat harus berkepentingan bahwa ada pendidikan yang baik, yaitu bermutu, dapat dijangkau oleh semua orang yang memerlukan, dan menghasilkan kemampuan dalam berbagai keahlian. Masyarakat yang sadar akan masa depannya pasti tahu bahwa diperlukan pembentukan kemampuan yang makin meningkat bagi anggotanya, apabila diinginkan perkembangan yang makin maju di masa depan. Kalau dalam masyarakat tidak atau belum ada pandangan demikian, maka kita masih berada dalam masyarakat tradisional yang statis. Dalam kenyataan masyarakat Indonesia bukan demikian, terbukti dalam sejarahnya mulai dengan perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan sampai belakangan ini kehendak untuk Reformasi.

Akan tetapi Masyarakat juga harus mengetahui bahwa untuk melakukan pendidikan diperlukan sumberdaya dan dana yang tidak sedikit. Dalam sistem demokrasi Masyarakat menjadi penentu dari penggunaan sumberdaya melalui berbagai jalan, termasuk desakan kepada Pemerintah untuk menyediakan anggaran pendidikan yang sesuai dengan pendidikan bermutu. Namun dana yang dikuasai Pemerintah berasal dari masyarakat melalui penarikan pajak dan pemasukan lainnya. Oleh sebab itu Masyarakat harus bersedia untuk membayar pajak dengan semestinya serta memberikan dukungan dana lainnya yang diperlukan oleh pendidikan. Agar Masyarakat dapat memberikan dukungan dana yang besar perlu ada kekuatan ekonomi Masyarakat yang terus berkembang. Itu berarti bahwa Masyarakat harus mempunyai perhatian besar kepada perkembangan ekonominya. Masyarakat harus mengusahakan agar kekuatan ekonominya meluas dan bertitikberat pada Usaha Kecil dan Menengah tanpa mengabaikan berkembangnya Usaha Besar.

Agar supaya terjamin bahwa Pemerintah berada di tangan orang-orang yang bekerja sesuai dengan tuntutan Budaya Pendidikan, maka dalam Masyarakat harus ada kehidupan dan proses politik yang dinamis. Masyarakat harus mengusahakan agar lembaga legsilatif dan eksekutif diduduki orang-orang yang tepat. Apabila ternyata kurang memenuhi kepentingan Masyarakat, dalam Pemilu berikut orang tersebut diganti dengan orang lain yang diperkirakan lebih tepat. Masyarakat harus memperjuangkan bahwa hanya orang-orang dengan kesadaran tinggi tentang pendidikan bermutu yang terpilih sebagai anggota legislatif dan eksekutif, baik di Daerah maupun Pusat.

Masyarakat harus menyadari bahwa Pendidikan Dasar sangat penting bagi masa depan bangsa dan masyarakat. Tanpa Pendidikan Dasar bermutu orang yang masuk Pendidikan Menengah dan Tinggi tidak akan cukup bermutu. Sesuai dengan desentralisasi Pendidikan Dasar sepenuhnya menjadi wewenang Daerah. Itu berarti bahwa Daerah bertanggungjawab atas pelaksanaan Wajib Belajar.Wewenang itu hendaknya digunakan oleh Daerah untuk menghasilkan lulusan Pendidikan Dasar yang bermutu dan meliputi semua anak Daerah. Adalah kewajiban Masyarakat untuk terus mengawasi agar Pendidikan Dasar itu terlaksana dengan baik.. Umat Islam pun harus menyadari bahwa merupakan kepentingannya sendiri agar pendidikan dalam sistem Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah mencapai standard mutu yang tidak beda dari lembaga Pendidikan Dasar lainnya.

KEPALA SEKOLAH DAN INSPEKSI PENDIDIKAN

Dengan pemberian otonomi kepada lembaga pendidikan maka peran Kepala Sekolah sangat besar dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk Pendidikan Dasar. Kepala Sekolah mengatur bagaimana pendidikan dijalankan di sekolahnya. Itu berarti bahwa terwujudnya Budaya Pendidikan terutama berada di tangan Kepala Sekolah. Kepemimpinan Kepala Sekolah berpengaruh besar kepada suasana pendidikan dan berdampak kepada setiap anggota Sekolah, terutama para Guru. Manajemen Kepala Sekolah berpengaruh terhadap segala aspek fisik dan material serta keuangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kepala Sekolah menentukan bersama para Guru di sekolahnya bagaimana melaksanakan kurikulum yang ditentukan Pemerintah. Akan tetapi Kepala Sekolah harus menyadari bahwa yang utama bukan hal yang tertera dalam kurikulum, melainkan bagaimana kehendak kurikulum direalisasikan secara kongkrit. Maka yang bersifat menentukan adalah bagaimana setiap Guru menjalankan fungsinya. Oleh sebab itu Kepala Sekolah mengadakan perencanaan pelajaran yang saksama bersama para Guru dan mengawasi bahwa para Guru melaksanakan rencana itu dengan semestinya. Kepala Sekolah harus mengetahui apabila terjadi hal-hal yang berbeda dengan rencana atau rencana tidak dapat berjalan semestinya. Dan bersama para Guru yang bersangkutan mengambil kesimpulan hal apa yang harus dilakukan kemudian. Kepala Sekolah dan para Guru mengorganisasi berbagai kegiatan ekstra-kurikulum bagi murid untuk lebih mengembangkan kemampuan murid. Kepala Sekolah harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa pendidikan budi pekerti yang terintegrasi dalam pengajaran semua mata pelajaran berjalan baik Kepala Sekolah harus mengetahui sebanyak mungkin keadaan Anak Didiknya serta Orang Tua mereka. Sekalipun Kepala Sekolah tidak langsung mengajar di kelas, namun Kepala Sekolah harus dikenal oleh murid sekolahnya. Demikian pula Kepala Sekolah memelihara hubungan teratur dengan para Orang Tua Murid melalui organisasi Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG) dan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Segala hal ini mensyaratkan bahwa Kepala Sekolah harus mempunyai kemampuan memimpin yang memadai. Ia seorang yang sanggup berhubungan dengan orang lain, termasuk anak, secara mudah dan luwes sambil menunjukkan kepribadian yang mantap. Ia seorang yang mampu memberikan tauladan kepada lingkungannya dan bersifat tegas tetapi adil. Ia seorang optimis yang selalu berusaha menunjukkan penampilan (physical appearance) yang terpelihara. Ia seorang yang hemat tetapi tidak kikir, baik dalam masalah keuangan maupun dalam pemberian penghargaan (rewards) kepada yang dipimpin. Dan yang terutama ia seorang pendidik yang selalu ingin mewujudkan Budaya Pendidikan yang mengembangkan Anak Didik yang mandiri.

Kepala Sekolah juga harus selalu memelihara kondisi fasilitas sekolahnya dengan baik. Gedung dan halaman sekolah harus dijaga keteraturannya dan kebersihannya. Harus selalu tersedia air yang diperlukan untuk berbagai maksud, Kondisi toilet atau kamar kecil harus semuanya bersih dan kurang baunya. Di dalam setiap ruangan kelas, ruangan Guru dan ruangan Kepala Sekolah semua bangku dan meja teratur tempatnya. Kalau sekolah menyelenggarakan makan siang bagi murid, Kepala Sekolah harus mengawasi bahwa dapur sekolah berfungsi baik serta dalam keadaan hygienis. Kepala Sekolah mengusahakan perpustakaan bagi sekolahnya dan bila memimpin SLTP juga ruangan laboratorium bahasa, fisika, kimia dan biologi. Diusahakan ruang olahraga serta halaman yang memadai untuk pelajaran olahraga permainan dan atletik. Syukur kalau juga dapat diusahakan kolam renang. Untuk menciptakan suasana yang sejuk dan menarik Kepala Sekolah memperhatikan adanya rumput hijau dan tanaman bunga di halaman sekolah. Untuk itu semua serta menjaga kondisi para Guru dan anggota Staf Sekolah, Kepala Sekolah mengusahakan dana yang dikelola secara transparen dan saksama. Maka Kepala Sekolah yang baik adalah seorang manajer yang andal dengan akuntabilitas yang tinggi.

Agar supaya Pendidikan Dasar benar-benar terselenggara dengan semestinya perlu ada Inspeksi Pendidikan yang selalu mengawasi keadaan sekolah beserta pelaksanaan pendidikan. Fungsi utama dari Inspeksi Pendidikan adalah memberikan saran dan nasehat kepada Kepala Sekolah apabila menemukan keadaan yang tidak sepatutnya terjadi dalam lingkungan pendidikan. Demikian pula apabila menemukan kinerja Guru yang kurang memadai. Apabila yang ditemukan adalah kinerja dan penampilan Kepala Sekolah yang kurang memadai, maka selain memberi nasehat kepada Kepala Sekolah yang bersangkutan juga menyampaikan laporan kepada Pemerintah. Dengan demikian seorang yang menjalankan fungsi Inspeksi Pendidikan harus paham benar tentang Budaya Pendidikan yang harus dikembangkan. Mereka adalah orang yang cukup pengalaman dalam pendidikan, baik sebagai Guru maupun Kepala Sekolah.

Untuk perbaikan kondisi Pendidikan Dasar dewasa ini prioritas pertama harus diletakkan pada perbaikan mutu Kepala Sekolah dan Inspeksi Pendidikan. Sebaiknya setiap Daerah Tingkat Dua yang mempunyai wewenang penuh dalam Pendidikan Dasar, mengadakan penataran untuk para Kepala Sekolah dan Inspeksi Pendidikan. Dalam penataran itu secara jelas disampaikan apa Budaya Pendidikan yang harus berkembang untuk masa depan. Penataran itu kurang tertuju kepada pemberian teori pendidikan dan lebih banyak kepada kepemimpinan dan manajemen. Sebaiknya Pemerintah Daerah mendatangkan pakar-pakar yang tepat untuk penataran itu agar tujuan tercapai. Juga perlu menjadi perhatian untuk segera memperbaiki penghasilan dan kesejahteraan Kepala Sekolah dan Inspeksi Pendidikan yang telah melalui penataran. Kepala Sekolah dan Inspeksi Pendidikan harus merasa bahwa pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang amat terhormat dan dihargai. Oleh sebab itu penghasilan mereka juga harus sepadan dengan itu. Untuk ukuran sekarang itu sebaiknya tidak kurang dari Rp 3 juta per bulan. Apabila semua Kepala Sekolah dan Inspeksi Pendidikan telah menjalani penataran itu, maka diadakan kursus bagi para Guru yang berminat untuk di kemudian hari menjadi Kepala Sekolah dan / atau Inspeksi Pendidikan. Dengan begitu selalu tersedia kader untuk pelaksanaan fungsi Kepala Sekolah dan Inspeksi Pendidikan secara baik.

GURU

Namun betapa pun pentingnya peran Kepala Sekolah, yang menjadi aktor utama pendidikan sekolah adalah Guru. Adalah Guru yang setiap saat berhadapan dengan Anak Didik atau muridnya. Sebab itu pengaruh Guru terhadap perkembangan murid adalah paling besar. Itu sebabnya diperlukan Guru Kelas untuk Sekolah Dasar (SD) sekurang-kurangnya sampai dengan kelas tiga. Artinya guru itu mengajarkan semua mata pelajaran kecuali Agama. Dengan demikian Guru benar-benar mengenal dan mempengaruhi murid dengan intensif . Guru bertanggungjawab atas kelas itu serta perkembangan muridnya. Setelah kelas 3 para murid diajar oleh Guru Mata Pelajaran (MP), yaitu setiap mata pelajaran dibawakan oleh guru tertentu. Dalam hal ini ada Guru MP tertentu yang ditetapkan sebagai penanggungjawab atas kelas masing-masing.

Karena pendidikan yang dialami Anak Didik pada tahap permulaan sangat menentukan perkembangan hidup seterusnya, maka peran Guru Kelas perlu memperoleh perhatian utama kalau kita ingin meningkatkan mutu Pendidikan Dasar. Peningkatan mutu para Guru lulusan SPG untuk memperoleh tingkat D2, sebaiknya digabungkan dengan usaha untuk meningkatkan mutu Guru Kelas khususnya dan Guru pada umumnya. Untuk itu diadakan Kursus selama 2 tahun. Dalam tahun pertama diadakan pendidikan teori sedangkan tahun kedua adalah pembentukan profesi Guru yang bersifat praktek mengajar dan pembentukan kepribadian. Dalam tahun pertama itu juga disampaikan Budaya Pendidikan yang harus dikembangkan. Pendidikan tahun kedua adalah kebanyakan berupa praktek mengajar di satu Sekolah Latihan Mengajar (Leerschool) dengan dibimbing oleh Guru-Guru Senior yang banyak pengalamannya dalam mengajar. Sepanjang Kursus dan terutama dalam tahun kedua, kepribadian Guru diperkuat, antara lain dengan jalan observasi perilaku Guru dan pendidikan kepemimpinan. Dalam praktek mengajar harus menjadi pedoman bahwa kewajiban Guru adalah merangsang dan memotivasi murid untuk mengembangkan dirinya. Hal itubanyak tergantung dari kepribadian Guru, bagaimana perilaku dan kepemimpinannya serta sikap pendekatannya terhadap murid. Hal ini juga penting dalam rangka pendidikan budi pekerti kepada murid yang sekarang menjadi kehendak kalangan luas masyarakat . Sebaiknya pendidikan budi pekerti tidak merupakan mata pelajaran tersendiri melainkan diintegrasikan dalam pengajaran setiap mata pelajaran, bahkan juga dalam program ekstra-kurikulum. Untuk dapat melakukan itu dengan baik setiap Guru dan terutama Guru Kelas harus mempunyai kepribadian dan perilaku yang sesuai. Ini semua menjadi standard Guru profesional yang harus dimiliki setiap Guru dan terutama Guru Kelas. .

Guru MP sebaiknya adalah seorang sarjana yang studi dalam mata pelajaran bersangkutan, seperti untuk matematik adalah Sarjana Teknik atau Sarjana MIPA. Akan tetapi mereka tidak cukup hanya cakap dalam MPnya tetapi juga harus mempunyai standard Guru profesional. Oleh sebab itu mereka baru dapat diakui sebagai Guru MP yang sah kalau telah melalui pendidikan Guru profesional. Untuk itu mereka harus lulus dari bagian kedua dari Kursus Guru tersebut di atas yang berlangsung satu tahun, yaitu praktek mengajar dan pembentukan kepribadian. Mereka juga harus memahami Budaya Pendidikan yang berlaku sekarang dan mengajar sesuai dengan itu. Mungkin sekarang kebanyakan Guru MP bukan atau belum sarjana. Lebih-lebih bagi mereka diperlukan kemampuan mengajar sesuai standard Guru profesional untuk dapat mengkompensasi kekurangannya dalam penguasaan MPnya. Sebab itu mereka pun harus menjalani pendidikan Guru profesional selama 1 tahun. Hal ini juga berlaku bagi Guru Agama yang umumnya berasal dari Departemen Agama. Adanya niat di beberapa Daerah untuk menggunakan Guru lulusan SPG tidak ada halangan asalkan Daerah itu melaksanakan Kursus 2 tahun sebagaimana diuraikan di atas..

Namun pelaksanaan fungsi Guru dengan baik tidak lepas dari perbaikan penghasilan, kesejahteraan dan status sosialnya. Oleh sebab itu harus ada perbaikan penghasilan Guru. Setiap Guru yang telah menyelesaikan pendidikan Guru profesional harus memperoleh penghasilan yang sekurang-kurangnya Rp 1 juta. Bagi mereka yang bertugas di daerah pedalaman dan daerah sukar pada umumnya ditambah dengan tunjangan kesulitan kerja (hardship allowance) dan penyediaan rumah.

ORANG TUA MURID

Peran Orang Tua Murid (OM) tidak kalah pentingnya untuk mewujudkan Pendidikan Dasar bermutu. Sebab kita harus berpangkal pada kenyataan bahwa pendidikan bermula di lingkungan keluarga. Sebelum anak masuk sekolah Taman Kanak-Kanak pada umur 4 tahun ia selalu ada di lingkungan keluarga yang memberikan dampak kepada perkembangannya. Sebab itu OM harus mempunyai rasa tanggungjawab atas pendidikan anaknya yang baik.

Belum tentu para OM mempunyai pengetahuan cukup tentang pendidikan. Oleh sebab itu dalam masyarakat harus dikembangkan organisasi sosial yang antara lain mengurus pemberian informasi tentang pendidikan anak. Khususnya organisasi yang berlandaskan agama perlu melakukan hal itu. Setelah anaknya masuk sekolah para OM turut dalam POMG dan BP3. Dalam lingkungan itu pula mereka harus memperoleh informasi tentang pendidikan anaknya. Meskipun anak sudah masuk sekolah namun sebagian besar waktunya masih ada di lingkungan keluarga. Sebab itu harus ada kontinuitas antara pendidikan di sekolah dan di lingkungan keluarga.

Menjadi kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya, sekalipun anak itu sudah sekolah. Adalah keliru kalau ada orang tua menyerahkan seluruh pendidikan anaknya kepada sekolah dan merasa dirinya bebas dari tanggungjawab pendidikan setelah anak masuk sekolah. Orang tua wajib selalu mendidik anaknya agar berbudi pekerti baik, sesuai dengan sistem nilai yang berlaku serta norma kehidupan yang diterima oleh masyarakat. Orang tua mendidik anaknya agar menyadari bahwa disiplin dan kepatuhan merupakan kepentingan setiap anak yang ingin maju. Orang tua membiasakan anaknya untuk bekerja membantu dalam pengurusan rumah tangga serta senantiasa menjaga kebersihan lingkungannya. Orang tua mendidik anak untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, tidak hanya berupa ritual tetapi juga dalam perbuatan dan perilakunya. Itu semua sangat tergantung dari tauladan yang diberikan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari serta dalam sikap serta hubungannya dengan anaknya.

OM harus selalu mengikuti perkembangan anaknya dengan memelihara hubungan erat dengan Guru Kelasnya serta Kepala Sekolah. Di pihak lain OM juga berusaha memberikan dukungan sebaik-baiknya kepada perkembangan sekolah. Berdasarkan kesadaran bahwa pendidikan anak mereka merupakan investasi terbaik bagi masa depan anak dan keluarga, maka OM hendaknya berperan positif untuk membantu keperluan dana sekolah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Para OM turut bertanggungjawab bahwa sekolah anak mereka berada dalam kondisi yang baik dan dapat dibanggakan. Meskipun sesuai dengan UUWajib Belajar Pemerintah sepenuhnya membiayai Pendidikan Dasar, namun tidak mustahil Sekolah memerlukan dana tambahan untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Juga peran dari OM yang cukup kaya harus mengkompensasi para OM yang kurang berada.

Di daerah tertentu tempat tinggal murid jauh sekali dari sekolah, seperti yang terjadi di Irian atau Kalimantan. Sebaiknya diadakan asrama untuk para murid yang jauh tempat tinggalnya. OM mengunjungi anaknya pada waktu tertentu, demikian pula anak dapat kesempatan pulang pada waktu tertentu. Untuk menggantikan peran OM diadakan pimpinan Asrama yang berfungsi sebagai OM. Sebaiknya pengurus asrama adalah mantan Guru yang bereputasi baik.

PENUTUP

Demikianlah satu gambaran singkat tentang usaha untuk memperoleh peningkatan mutu dan efsisiensi Pendidikan Dasar dalam rangka Standar Pelayanan Dasar . Memang pengertian efisiensi di sini masih dapat diperdebatkan, karena tidak mudah memperoleh hasil yang maksimal dengan biaya yang tersedia. Atau menjalankan Pendidikan Dasar Bermutu dengan biaya minimal. Adalah lebih baik untuk menggunakan pengertian Efektif karena dalam hal itu bukan semata-mata penghitungan biaya yang menjadi ukuran, melainkan bahwa yang dilakukan itu benar-benar mencapai tujuan yang ingin diwujudkan.

Pada waktu ini kondisi Pendidikan Dasar di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Perlu perhatian dan usaha kita semua secara serieus untuk memperbaiki keadaannya. Ketika makalah ini dibuat Pemerintah Pusat mengumumkan RAPBN untuk tahun 2001. Di dalamnya dianggarkan sekitar Rp 7, 3 trilyun untuk pendidikan. Tentu diperlukan lebih banyak dana untuk memperbaiki pendidikan pada umumnya dan terutama Pendidikan Dasar yang harus diselenggarakan sebagai Wajib Belajar. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah yang mempunyai tanggungjawab mengenai Pendidikan Dasar harus merasa wajib untuk mengeluarkan dana yang cukup guna menambah kekurangan itu. Hal itu dimungkinkan karena dalam rangka otonomi dan desentralisasi Daerah memperoleh dana yang jauh lebih besar dibandingkan masa lampau, sesuai dengan kondisi setiap Daerah. Hendaknya Pemerintah Daerah menunjukkan komitmen yang memadai bagi kemajuan Daerahnya. Dan itu hanya terwujud dengan baik kalau Daerah melaksanakan Pendidikan Dasar dan Wajib Belajar dengan mutu yang makin meningkat.


Sumber :

(http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1058)

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo, Anggota BPPN-Depdiknas