Saya agak kaget ketika membaca Kompas edisi 9 Juni 2007, membaca kolom opini yang ditulis oleh Daoed Joesoef, dimana isinya sangat menyerang homeschooling dengan berbagai FUD / half-truths / dll. Sekalinya baca Kompas, langsung ketemu artikel begini. Versi onlinenya bisa dibaca disini.
Beberapa kutipan :
Bila pendidikan privat jenis ini memarak dan menjadi pengganti (alternatif) pendidikan sekolah formal, dalam jangka panjang ia akan berakibat fatal bagi pertumbuhan anak Indonesia menjadi manusia yang bermasyarakat (homo socialis).
Jenis sekolah rumah seperti inilah yang sebaiknya tidak dibiasakan karena bisa merusak pertumbuhan anak menjadi manusia yang bermasyarakat.
Daoed Joesoef Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983
Ada banyak paparan yang menjelaskan berbagai pendapat simplistis dari Daoed Joesoef di atas dari milis sekolahrumah. Beberapa di antaranya saya lampirkan di bawah ini :
Seburuk Itukah Sekolahrumah?
Tulisan Prof. Dr. Daoed Joesoef di harian Kompas (Sabtu, 9/6/2007) mengenai fenomena sekolahrumah (homeschooling) layak untuk diapresiasi sekaligus dikritisi. Sebab, banyak paparan yang disampaikan dalam tulisan itu yang tak hanya bersifat simplifikasi, tetapi juga menempatkan model pendidikan sekolahrumah tak selayaknya. Seolah, para praktisi pendidikan sekolahrumah bersifat asosial dan praktek belajar yang dilakukan sehari-hari dalam sekolahrumah melawan norma-norma sosial yang ada di masyarakat. Labelisasi asosial pada anak-anak sekolahrumah adalah sebuah stigmatisasi yang sangat tidak layak diterapkan.
Substansi Pendidikan Sekolahrumah
Membaca tulisan Prof. Dr. Daoed Joesoef mengenai sekolahrumah, dikesankan bahwa praktek belajar sekolahrumah hanyalah belajar di rumah, oleh orangtua saja, dan anak tidak melakukan pergaulan sebagaimana anak-anak pada umumnya. Narasi yang disampaikan itu sangat asing bagi praktisi sekolahrumah dan sangat jauh berbeda dengan kenyataan praktek sekolahrumah yang dijalani sehari-hari oleh para praktisi sekolahrumah.
Berbeda dengan sekolah formal yang ditandai dengan model pendidikan massal dan seragam, model pendidikan sekolahrumah bercirikan pendidikan terkustomisasi. Praktisi sekolahrumah berusaha mengembangkan dan mendorong potensi individual anak yang selama ini tak dimungkinkan dalam model sekolah formal pada umumnya. Dalam keseharian proses belajar, praktisi sekolahrumah menggunakan beragam sarana, baik yang ada di keluarga maupun sarana publik dalam proses pembelajarannya.
Dengan mengambil slogan “belajar di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja”, para praktisi sekolahrumah justru sedang berusaha memasuki esensi-esensi proses belajar. Belajar tak harus menempat di sebuah ruang tertentu (bangunan sekolah), waktu tertentu (jam sekolah), dan oleh sosok tertentu (guru). Proses belajar menggunakan kehidupan nyata sehari-hari merupakan contoh praktek belajar sekolahrumah yang menggunakan pendekatan unschooling.
Demikianlah, model sekolahrumah memang menolak monopoli sekolah sebagai satu-satunya institusi yang berhak menyelenggarakan pendidikan. Sebab, makna pendidikan sebagaimana yang juga diamanatkan dalam UU No. 20/2003 jauh lebih luas daripada sekolah. Sekolah hanyalah salah satu moda untuk menyelenggarakan pendidikan. Secara khusus, sekolahrumah atau pendidikan berbasis keluarga dijamin eksistensinya dalam pasal 27 ayat 1.
Model Sosialisasi
Kritik terhadap sosialisasi yang diselenggarakan pada sekolahrumah bukanlah sebuah hal yang baru. Di Amerika Serikat yang memiliki tradisi sekolahrumah lebih matang (sekitar 3 juta siswa dengan pertumbuhan sekitar 15% per tahun) pun, kekhawatiran terhadap sosialisasi anak-anak sekolahrumah belum dapat ditepis seluruhnya. Kekhawatiran itu umumnya muncul dari para profesional yang bekerja di lingkungan sekolah formal. Persepsi itu sangat kuat melekat pada masyarakat umum yang melihat proses sekolahrumah dari kejauhan.
Berbeda dari persepsi umum mengenai adanya masalah sosialiasi anak-anak sekolahrumah, berbagai penelitian yang dilakukan justru menunjukkan sebaliknya. Anak-anak sekolahrumah memiliki beragam kegiatan sosialisasi teman sebaya maupun keterlibatan di masyarakat yang ada di sekitarnya. Menurut penelitian, keterlibatan sosial anak-anak sekolahrumah lebih baik dibandingkan dengan teman-teman mereka yang belajar di sekolah umum. Diantara penelitian itu
dilakukan oleh Dr. Brian Ray, presiden dari the National Home Education Research Institute (NHERI) terhadap 5,402 siswa sekolahrumah di Amerika Serikat.
Model sosialisasi di dalam pendidikan sekolahrumah memang berbeda dengan model sosialisasi sekolah yang mengasumsikan kebutuhan pengelompokan teman seumur- sebuah asumsi yang dikritik Ivan Illich sejak tahun 1970-an. Dalam model sosialisasi sekolahrumah, anak lebih banyak terekspos dengan model sosialisasi lintas-umur, baik saat dia belajar di rumah, komunitas, masyarakat, organisasi, tempat magang, maupun tempat-tempat belajar lain yang ada di masyarakat. Ekspose dengan sosialisasi lintas-umur itu bagi para praktisi homeschooling justru
dinilai sebagai kekuatan karena merupakan cermin dari realitas masyarakat yang sesungguhnya.
Dengan ekspose yang luas pada pergaulan lintas-umur sejak dini, anak-anak sekolahrumah menjadi terbiasa dan matang dalam pergaulan. Anak-anak sekolahrumah tidak perlu mengalami proses adaptasi saat memasuki dunia kerja, sebagaimana yang dialami anak-anak sekolah yang terbiasa dengan sosialisasi teman sebaya. Pada anak sekolahrumah, inisiasi nilai-nilai kemasyarakatan terjadi selama proses belajar lintas-umur yang terjadi sepanjang hari, baik di keluarga, komunitas, masyarakat, dan dunia nyata tempat belajarnya.
Untuk sosialisasi teman sebaya yang juga dibutuhkan dalam perkembangan psikologis, anak-anak sekolahrumah biasa melakukannya melalui kegiatan di komunitas, field trip, tutorial, klub, ataupun kursus-kursus yang diikutinya.
Perbaikan Mutu Pendidikan
Pertumbuhan sekolahrumah justru sebenarnya menunjukkan sebuah pertanda baik di masyarakat. Ada beberapa alasan untuk mendukung hal itu:
Keterlibatan aktif orangtua di dalam pendidikan adalah sebuah hal yang sangat positif. Keterlibatan itu mengimplikasikan tercurahnya sumberdaya keluarga secara maksimal untuk pendidikan anak, bukan hanya secara material, tetapi juga secara psikologis yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan anak. Kecenderungan ini lebih baik dibandingkan ketidakpedulian orangtua pada saat ini yang menggantungkan masa depan pendidikan anak pada para guru dan sistem sekolah. Kesediaan keluarga untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam proses pendidikan adalah modal besar untuk perbaikan dunia pendidikan.
Sekolahrumah mendorong pendidikan untuk masuk pada esensi dan substansi pembelajaran. Sekat-sekat tempat, waktu, dan sumber belajar dapat dicairkan. Infrastruktur yang diperlukan dalam pendidikan model sekolahrumah pun menjadi lebih sederhana dan tidak semahal infrastruktur yang diperlukan dalam pengembangan sekolah formal yang ada pada saat ini.
Sekolahrumah mendorong fleksibilitas pembiayaan pendidikan yang saat ini dirasakan semakin mahal oleh masyarakat dan terindikasi komersialisasi. Selain membuang aksesori-aksesori pendidikan yang semakin membebani masyarakat, praktisi sekolahrumah terbiasa menggunakan kreativitasnya untuk mendapatkan berbagai bahan dan metode belajar yang sesuai dengan keadaan keuangannya tanpa harus menurunkan standar kualitas pendidikan bagi putera-puterinya.
Di Indonesia, model pendidikan sekolahrumah masih berumur sangat muda. Dalam jaminan Konstitusi dan UU Sisdiknas, diperlukan kelapangan dari semua pihak untuk melihat perkembangan sekolahrumah yang sudah terbukti efektif bagi keluarga Indonesia untuk meraih tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkannya.
Sumber : (http://harry.sufehmi.com/archives/2007-06-11-1492/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar