Selasa, 17 Maret 2009

Biografi Singkat Mengenai Aku

Ketidakpastian selalu menyertai kita, jangan lari, percuma.
Yang perlu dilakukan ialah gunakanlah kreatifitas Anda untuk mencari solusi-solusi baru
dan tetaplah SEMANGAT untuk
mengaplikasikan solusi-solusi tersebut.

^-^


Saya adalah seorang wanita sederhana yang memiliki banyak mimpi. Yang dilahirkan di sebuah rumah sederhana, di daerah Wonogri, Jawa Tengah oleh seorang wanita yang sangat HEBAT yang tidak ada duanya di dunia ini. Tepatnya pada tanggal 18 April 1989. Bayi tersebut di beri nama NANCY WIJAYA SUGIYONO. (Cie. . . Cie. . . narsiz dikit gpp ya). tetapi keluarga besar dan teman-teman biasa memanggil saya CICI. Oh ya, setelah beberapa hari saya menghirup udara di Dunia ini, oleh kedua Orang tua saya, saya langsung dibawa ke Surabaya. Saya tidak ingat kejadian apapun disana sebab saya masih bayi tetunya.


Nah, waktu saya balita saya dan kedua Orang Tua saya yang LUAR BIASA itu, pindah ke Jakarta. Lalu 3 tahun kemudian Saya diberi adik laki-laki oleh Allah. Dia yang selalu Saya ajak bermain, berbagi juga berantem bareng, hal-hal itu yang membuat hidup ini menjadi bewarna :) (saking banyaknya warna, sampai bingung mana warna yang paling mengasyikan)


Oh ya, saat ini saya pengen banget bisa ketemu sama orang yang bisa memotivasiku lebih baik. Sebab setiap orang pasti tidak bisa hidup sendiri, karena kodratnya manusia sebagai makhluk sosialis. Oleh karena itu baik teman-teman atau Saya pibadi butuh seseorang yang selalu dapat mengingatkan kita atas segala kesalahan-kesalahan yang kita perbuat di kehidupan ini.

Saya senang apa saja yang berhubungan dengan komputer. Soalnya memang dari kecil, Orang tua sudah memperkenalkan saya degan komputer. Nah, sekarang lagi pengen belajar hardware komputer (kalau ada yang bisa ajarin ya) kita bagi-bagi ilmu. . .

Saya seneng nonton film kartun, kartun apa aja yan penting tentang petualangan. seperti Doraemon, Detectiv Conan, Kekaishi, Naruto dan masih baak lagi. yang penting kartunya g Lebay alias berlebihan :)

oh ya, aku dari dulu kurang suka yang namanya ekonomi, waduh sekarang malah kuliah di fakultas ekonomi. . . Gimana ya. . . Tapi sudah takdir mau apa lagi. Semua ada hikmah dan pelajaran dari semua ini. Jadi harus dijalani dan TETAP SEMANGAT ! !

Sekarang lagi pengen cari kerja, mudah-mudahan dapet yang berhubungan dengan komputer ya, biar g cepat bosen begitu. . .

oh ya, sekarang lagi mau nulis cerpen, harus serius (he he, tapi belum dimulai). Habisnya bingung mau mulai dari mana.

Intinya
Mohom Doa dan Restu dari Keluarga dan Teman-Teman Semua
Maafkan Segala Kealahan yang Pernah Aku Lakukan
Karena Setiap manusia Pasti Punya Kesalahan
dan

SELAULAH SEMANGAT ! !


Pengalaman Pendidikan

Pendidikan Agama :
1. Taman Kanak-kanak Al-Maimunah Jakarta, Jakarta Selatan
2. Taman Pendidikan Al-Quran Al-Maimunah Jakarta, Jakarta Selatan

SD :
1. SD Negeri 09 Pagi, Jakarta Selatan
2. SD Negeri Pecontohan 12, Jakarta Utara

SMP :
1. SMP Negeri 221, Jakarta Utara
2. SMP Negeri Percontohan 134, Jakarta Barat


SMA :
1. SMA Negeri 101, Jakarta Barat
2. SMA Negeri 105, Jakarta Timur


Universitas :
1. Computer for Computing and Information technology (CCIT - FTUI), Depok
2. Pend. Tata Niaga (FE UNJ), Rawamangun


Pengalaman Organisasi

SD :
1. SD Negeri 09 Pagi (Anggota Pramuka)
2. SD Negeri Pecontohan 12 (Anggota Pramuka)

SMP :
1. SMP Negeri 221 (Anggota Pramuka, Anggota PMR)
2. SMP Negeri Percontohan 134


SMA :
1. SMA Negeri 101
(Anggota Paskibra,
Anggota dan Staff Kaderisasi dan Pendidikan ROHIS,
Anggota PMR)
2. SMA Negeri 105 (Anggota ROHIS)


Universitas :
1. Computer for Computing and Information technology (CCIT - FTUI)
2. Pend. Tata Niaga (FE UNJ)
> Media Center, BSO-Al Iqtishodi
> HUMAS, Lembaga Kajian Mahasiswa

Minat Saya

Minat


Apa yang teman-teman fikirkan tentang minat?

Beda g sih minat sama bakat?

Wew, Pasti Beda. . .

Menurut Sumber yang saya dapat dari Internet pengertian minat dan bakat adalah :



Minat : diartikan sebagai kehendak, keinginan atau kesukaan. Ini berarti sesuatu yang pribadi yang dapat menjadikan dasar dan prasangka kita dalam mengambil keputusan. dan giat dalam melakukan sesuatu yang telah menjadi keputusanya.


Bakat : Secara umum adalah hal unik yang sudah tertanam dari diri seseorang yang harus dikembangkan


Just Intermezo saja


Sampai saat ini Saya masih belum mengetahui bakat yang potensial dari dalam diri. Tetapi seorang manusia harus terus mencari bakat yang mereka miliki untuk dikembangkan dan dipergunakan secara baik bagi kemaslahatan hidup orang banyak. Begitu Pula dengan Saya pribadi.



Tetapi minat saya, Saya senang hal apapun mengenai komputer, software, hardware atau hal-hal yang berhubungan dengan hal tesebut. Saya juga senang mendaki gunung dan melihat pemandangan alam dari atas, karena bisa menenangkan hati dan melihat keagungan ciptaan Allah SWT.



Semoga kedepanya Teman-Teman dan Saya dapat mengembangkan potensi Positif yang ada. Dan dapat sharing bersama tentang pengalaman hidup.



HAMASAH ! !

Favorit Saya

NTT selenggarakan pendidikan layanan khusus

KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.
Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.
Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.
Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.
Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.
Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.
Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. *

Sumber:
(http://spiritentete.blogspot.com/2008/03/ntt-selenggarakan-pendidikan-layanan.html)

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya. Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri. Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Sumber :
(http://pelangi.dit-plp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=582&Itemid=206)

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.

Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.

Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.

Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.

Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.

Ribuan Anak Pengungsi

Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.

Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.

Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.

Bantuan Alat

Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.

Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.

"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.

Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.

Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.

Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.

Layanan Tutor

Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.

"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.

Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.

"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.

Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu

Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.

"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.

Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.

Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.

Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.

Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.***(rht)


Sumber :

(http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=34)

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).


Sumber :

(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm)

Senin, 16 Maret 2009

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.

KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.

Nurma Cholida, penulis di majalah Genta. Mahasiswa Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya.

Sumber :
(http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Perhatian+Khusus+pada+Pendidikan+Khusus.&dn=20070504114934)

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.

Sumber :
(http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=131764)

Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan Khusus bagi Advokat

1. Kurikulum Nasional (Khusus) 1993 (Kep. Mendikbud 17/1993) mensyarakatkan adanya matakuliah “kemahiran hukum”
(legal skills) dalam kurikulum semua fakultas hukum. Tujuannya adalah agar lulusan dibekali dengan “kesiapan kerja”
yang lebih baik. (Bandingkan pula dengan CLE-Pendidikan Hukum Klinik yang di UNPAD dijadikan proyek percontohan
dengan Kep. Dikti No. 30/1983).

2. Seorang sarjana hukum yang akan mempergunakan pengetahuannya dalam masyarakat harus mempunyai
“kemahiran analisa” (analytical skills). Ketidakmampuan secara cermat menganalisa suatu kasus hukum, adalah keluhan
umum yang diajukan terhadap lulusan (baru) fakultas hukum. Kritik masyarat tentang “tidak siap-kerja” para lulusan
fakultas hukum, berintikan keinginan kantor-kantor hukum untuk menerima bekerja lulusan yang mampu mempergunakan
“wawasan ilmu pengetahuan hukum” secara profesional analitis dalam kasus (-kasus) yang dihadapinya.

3. Dalam organisasi fakultas hukum telah disarankan adanya “laboratorium hukum” (Lab-Hukum). Tugas Lab-Hukum
adalah: (a) menyelenggarakan pendidikan kemahiran (secara khusus dan tersendiri), dan (b) membina (para dosen)
menggunakan pendekatan-terapan (applied approach) melalui penyediaan bahan untuk dosen, maupun meningkatkan
dosen menggunakan bahan (kasus, peraturan; kontrak) tersebut. Memasukan Lab-Hukum dalam “struktur organisasi”
fakultas hukum adalah dengan tujuan memudahkan perolehan dana dan pertanggungjawabannya (terutama untuk PTN).

4. Lab-Hukum yang disarankan adalah:
4.1. Unit latihan berlitigasi (sebagai hakim, jaksa, dan advokat)
4.2. Unit latihan non-litigasi (kemahiran bernegosiasi, menyusun kontrak, dan menyusun peraturan perundang-undangan);
4.3. Unit bantuan hukum untuk orang miskin (legal aid; melatih “social responsibility”).
Dalam perjalanan diskusi, maka ketiga unit ini ditambah dengan:
4.4 Unit latihan penulisan hukum (persiapan “legal memorandum” dan skripsi);
4.5 Unit pengajaran bahasa (Indonesia dan Inggris serta bahasa asing lainya).

5. Dalam makalah saya sepuluh tahun yang lalu, yaitu tahun 1994 (penataran untuk dosen di Fakultas Hukum Universitas
Lampung), telah disarankan sejumlah aktivitas Lab-Hukum sebagai berikut:
5.1. Unit Litigasi (UL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Membuat dokumen-dokumen hukum pengadilan, misalnya: surat gugatan dan jawaban (hukum perdata); surat
dakwaan dan pembelaan (hukum pidana); berita acara sidang (panitera); keputusan perkara (hakim; hukum perdata;
hukum pidana); memori banding; memori kasasi; dan lain-lain.
(b) Praktik beracara di pengadilan: tata tertib; sopan santun; etika beracara (untuk hakim, jaksa, dan penasehat hukum);
dapat disimulasikan melalui “peradilan semu” yang pada dasarnya akan mengajarkan a.l. teknik, keterampilan, dan etika
dasar dalam beracara di pengadilan dan lain-lain.
(c) Manajemen dalam menangani kasus litigasi: persiapan-persiapan untuk maju di muka pengadilan; menangani kasus
yang mendapat “sorotan publik/pers” atau kasus yang telah menimbulkan “emosi publik” atau kasus yang menyangkut
klien yang “banyak” (10,50,100) orang; dan lain-lain.

5.2. Unit Non-Litigasi (UNL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Mewakili klien dalam bernegosiasi untuk transaksi bisnis yang besar (dengan pihak pemerintah; pihak “mitra” ataupun
“lawan” dalam bisnis): teknik-teknik mempersiapkan diri, pendekatan “take and give”, penyusunan laporan untuk klien; dan
lain-lain;
(b) Menyusun kontrak dagang atau bisnis berdasarkan fakta dan instruksi klien;
(c) Menyusun peraturan perundang-undangan: tingkat daerah dan tingkat pusat; menelusuri peraturan yang akan menjadi
dasar, yang perlu diubah atau dicabut; dan lain-lain;
(d) Penyusunan dokumen hukum “resmi” seperti: pendirian perusahaan (a.l. anggaran dasar p.t.); jual beli tanah; jual beli
rumah susun atau kondominium; dan lain-lain.

5.3. Unit Bantuan Hukum (UBH):
Kegiatan dalam unit ini mencerminkan keprihatinan dan kepedulian fakultas hukum terhadap warga masyarakat yang
tidak mampu (miskin). Partisipasi para mahasiswa dalam UBH sebaiknya lebih bersifat “sukarela” dan berdasarkan
“seleksi”, karena tujuan pendidikannya adalah menanamkan konsep “pelayanan social” (public service) dan bahwa perlu
ada “ketertiban sosial” dari profesi hukum. Yang perlu dicegah adalah bahwa UBH menjadi “kantor penasihat hukum
(advokat; konsultan hukum) terselubung” dari dosen (dan mahasiswa) fakultas hukum bersangkutan. Pendekatan
“komersial” atau “bisnis” dari UBH harus dicegah pula, namun tentu diharapkan dapat “berdikari” dalam bidang keuangan.

Melalui Lab-Hukum ini fakultas dapat pula melaksanakan kegiatan-kegiatan lain misalnya yang pernah disarankan:

5.4. Yang bersifat “latihan kemahiran”:
(a) Penelusuran efektif peraturan dan yurisprudensi;
(b) Menulis “nasihat” hukum singkat dan sederhana;
(c) Memimpin rapat (misalnya rapat umum tahunan suatu organisasi atau perusahaan);
(d) Pemahaman tentang keberadaan (dan sejarah terbentuknya) berbagai organisasi profesi hukum serta etika profesi
hukum;
(e) Tata cara melangsungkan “perdamaian” antara klien dan “lawan”, atau antara dua (atau lebih) “klien” (pihak-pihak yang
meminta bantuan “mediation”, “conciliation” ataupun arbitration”) [dapat merupakan prasyarat untuk matakuliah (bila ada)
“Alternative Dispute Resolution”];
(f) Manajemen kantor penasihat hukum (arsip klien; titipan dokumen hukum asli; penagihan pembayaran; pembukuan
sederhana; peraturan jadwal sidang dan pertemuan dengan klien; dan lain-lain);
(g) Pemanfaatan program-program komputer untuk meningkatkan manajemen (termasuk penyusunan rancangan
perjanjian) kantor penasehat hukum (atau mutatis mutandis kantor jaksa, kantor panitera, kantor hakim).

5.5. Yang bersifat “pengabdian kepada masyarakat”:
(a) Penyuluhan hukum untuk memberikan pengetahuan hukum yang dasar kepada masyarakat, tidak saja kewajibanya
tetapi juga hak-haknya;
(b) Membantu membekali mahasiswa fakultas hukum yang akan melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata).

6. Kalau saran sepuluh tahun yang lalu telah dijalankan, maka fakultas hukum tentu sudah mempunyai Lab-Hukum yang
cukup siap dan berpengalaman untuk dikembangkan menjadi suatu penjurusan atau pengkhususan kependidikan
profesi hukum (Professional school) yang dapat disesuaikan dengan tantangan masa kini. Pada waktu ini (tahun 2004),
peta pendidikan untuk profesi hukum sudah mulai berubah. Perkembangan ekonomi dunia telah memberikan dampaknya
pula pada pendidikan tinggi hukum. Globalisasi pasar ekonomi telah berpengaruh timbal balik pada perkembangan
teknologi informasi dan perubahan dalam masyarakat, termasuk di bidang hukum. Kampus hukum harus siap
menghadapi persaingan dunia di berbagai aspek aktivitas ekonomi, termasuk perdagangan di bidang jasa. Pasar jasa
dalam negeri pada awal abad ke-21 ini diprediksikan akan mulai menjadi pasar internasional. Dalam suasana seperti itu,
para sarjana hukum Indonesia harus dapat bersaing dengan jasa hukum yang ditawarkan dari luar negeri ke Indonesia.

7. Untuk menghadapi tantangan di atas, kampus hukum Indonesia harus mempunyai strategi yang agresif untuk
meningkatkan daya saing (competitiveness) para lulusannya berhadapan dengan sarjana hukum asing. Sebaiknya
kampus dan profesi hukum tidak mengandalkan cara-cara tradisional yang bersifat defensive, dengan meminta proteksi
melalui berbagai larangan dan pembatasan untuk praktisi hukum asing. Cara ini hanya akan membuat sarjana hukum
Indonesia menjadi “jago kandang” (yang sering disamarkan dengan istilah “tuan di rumah sendiri”) dan tidak kompetitif di
luar Indonesia. Jangan lupa bahwa pada akhir abad yang lalu, dunia profesi hukum telah mulai berubah dan pada
penghujung abad ke 21 ini internasionalisasi dan globalisasi profesi hukum sudah berjalan, begitu pula untuk Indonesia.


8. Bagaimana sebaiknya kita bersikap? Tidak ada jawaban yang mudah, sederhana, dan berlaku umum. Pertama, kita
harus mengakui kita telah tertinggal dibandingkan pendidikan profesi hukum di negara-negara tetangga kita (Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Filipina). Kita mau menyadari hal itu dan kita harus ingin mengejar ketinggalan kita. Kedua, kata
kunci adalah “kepedulian” dan “kerjasama”. Peduli terhadap sumber-sumber utama personalia di bidang hukum (hakim,
jaksa, advokat) yang sedang menghadapi masalah. Karena itu perlu ada kerjasama antara organisasi profesi dengan
fakultas hukum. Harus dibangun suatu “strategi bersama” dan suatu “cetak biru” untuk membuka jalan ke masa depan.
Tanpa hal ini mustahil kita dapat mengejar ketinggalan kita!

Sumber :
(http://www.duniaesai.com/hukum/hukum1.html)

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.


Sumber :

(http://www.rajaraja.com/news_detail.php?id_news=1072)

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

Sumber :
(http://www.antara.co.id/arc/2007/12/16/baru-64000-anak-cacat-mendapat-pendidikan-khusus/)

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA : Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5).

Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan.

Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak.

Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag.

Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa.

Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag.

Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag.

BPIH 1429 H
Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan.

''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi.

Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap.

Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram.


Sumber :

(http://www.sekolahkami.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=9)

Negara Jangan Belenggu Pengelolaan Pendidikan Keagamaan

JAKARTA - Departemen Agama dan Depdiknas yang saat ini tengah menggodok
Rancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Keagamaan (RPP Pendidikan
Keagamaan) yang senapas dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) hendaknya arif dan bijaksana dalam
menempatkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia.
"Masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren dalam UU Sisdiknas
hendaknya tidak dijadikan komoditas bagi pemerintahan untuk mengatur
penyelenggaraan dan pengelolaannya," ujar pakar pendidikan Dr Muhamad Ridwan
kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (13/2) .
Sementara itu, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Fuad Fanani, melihat
hegemoni negara kembali tercermin dalam RPP Pendidikan Keagamaan. "RPP itu
hampir sama dengan UU Sisdiknas dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Betapa
kentalnya intervensi negara dalam kehidupan publik. Padahal, negara
seharusnya menumbuhkan kesadaran kritis bukan membelenggu," ujarnya.
Dikatakan, Depag dan Depdiknas harus mampu melakukan dialog dengan semua
komponen, sehingga produk PP tidak lagi mendapat perlawanan dan resistensi
begitu besar di tengah masyarakat seperti UU Sisdiknas. "Teman-teman JIMM
siap bergabung dengan komponen lainnya menentang setiap bentuk hegemoni
negara kepada masyarakat," katanya.
Menurut Muhamad Ridwan, di samping menempel dalam pasal-pasal tentang
jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut madrasah dan pesantren
tercantum dalam satu pasal khusus, diatur oleh Departemen Agama, hendaknya
hal ini tidak diimplementasikan mengatur secara administratif oleh negara.
Dalam naskah UU Sisdiknas, pendidikan keagamaan diatur pada pasal 26 yang
secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu,
dimasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam
pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan.
"Peraturan Pemerintah tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpa
membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan
secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama
tertentu. Jangan sampai terkesan negara membelenggu pendidikan keagamaan.
Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama
tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas
yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan
semua," ujarnya.
Ditegaskan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah cukup mengakomodasikan pendidikan
keagamaan sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik,
menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama
tertentu menjadi tidak perlu. Namun, dalam RPP sebaiknya Depag dan Depdiknas
tidak lagi mengatur secara khusus sehingga membuat pesantren atau sekolah
pendidikan keagamaan merasa terkooptasi oleh negara.
Dijelaskan, sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar
kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur
pendidikan sekolah. Sebelum UU No 2 Tahun 1989 dan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang
pendidikan terendah sebagai sekolah dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya
sekolah menengah pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan.
Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2 tahun 1989 dan Wajar Dikdas
diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah
kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan
bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan
berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama
SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya, nama yang
tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas
kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.
Anehnya, dalam naskah UU Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat
(pasal 17 ayat 2), kemudian Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang
sederajat dan 'Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
terdiri atas tiga tingkat' (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal
20 ayat 3 disebutkan bahwa 'Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)', dan pada ayat 4 'Pendidikan
menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)'. (E-5)

Sumber :
(http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Soal-Penyusunan-RPP-Pendidikan-Keagamaan)

Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.

Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.

Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.

Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.

Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.

Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.

Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.

Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.

Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.

Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.

“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.

Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.

Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).

Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.

Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.

Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.

Hal itu, misalnya, dilakukan Kabupaten Aceh Barat. Dana kesejahteraan guru hanya diberikan kepada guru di lingkungan Depdiknas, tidak diberikan pada guru agama di madrasah yang berafiliasi ke Depag. Akibatnya, seluruh guru madrasah se-Aceh Barat sempat melakukan aksi mogok mengajar pada Agustus 2006.

Hingga 2005, sejumlah gedung madrasah di Kabuaten Tangerang, Banten, rusak berat dan tidak segera direhabilitasi. Menurut anggota DPRD Tangerang, Imron Rosadi, kepada koran lokal, itu terjadi karena APBD Kabupaten Tangerang tidak mengalokasikan bantuan. Baru pada 2007 anggaran perbaikan dan pembangunan gedung disediakan APBD.

Efek surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) itu menyulut tuntutan berbagai kalangan agar surat tersebut dicabut. Wakil Ketua DPR pada saat itu, Zaenal Ma’arif, sejumlah anggota DPR, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni minta surat edaran itu direvisi karena bisa menghadirkan kembali politik anggaran yang diskriminatif.

Banyak kepala daerah dikabarkan gelisah. Di satu sisi, tak mau salah dalam mengalokasikan anggaran. Di sisi lain, tak ingin berkonfrontasi dengan para elite agama. Pada musim pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, hal itu bisa berdampak buruk pada popularitas para tokoh politik lokal. Berbagai proses politik, lobi, dan manuver di balik layar pun ditempuh untuk menyetop berlakunya surat Mendagri itu.

Tapi masih ada beberapa pimpinan daerah yang tidak memedulikan “larangan” surat edaran Mendagri itu. Misalnya dilakukan Bupati Pekalongan, Gresik, dan Banyuwangi di Jawa Timur. Di Banyuwangi, surat Mendagri itu hanya sempat jadi pembicaraan singkat, tapi tidak mempengaruhi alokasi anggaran.

Menurut Arifin Salam, anggota DPRD dan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Banyuwangi, APBD setempat tetap mengalokasikan bantuan pada seluruh siswa pendidikan swasta Rp 20.000 per bulan secara adil. “Sekolah umum dan madrasah punya hak yang sama,” katanya.

Sekolah negeri tidak memperoleh bantuan karena sudah mendapat anggaran operasional dari negara. Tahun 2008, anggaran pendidikan di APBD Banyuwangi mencapai 23%. Bujet buat pendidikan keagamaan semacam pesantren dan semua lembaga pendidikan agama di luar Islam meningkat pesat.

Bila tahun 2005 hanya Rp 3 milyar, tahun 2008 ini mencapai Rp 18 milyar. Sampai-sampai, anggaran dinas lain, seperti peternakan, dikurangi. “Komitmen kami pada pendidikan agama sangat kuat,” ujar Arifin.

Di Langkat, Sumatera Utara, bantuan APBD juga tetap lancar, tak terganggu oleh polemik surat edaran Mendagri. Ustad Muhammad Nuh, pimpinan Pesantren Al-Uswah, Langkat, pada 2007 masih mendapat bantuan dari APBD Sumatera Utara dan APBD Langkat. Namun sifatnya bantuan insidental, tidak tetap. Setahu Nuh, pesantren lain juga masih mendapat bantuan APBD.

Bagi Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara, kalaupun surat Mendagri itu betul-betul melarang karena kendala ketentuan desentralisasi, semestinya pemerintah daerah tidak kehabisan akal untuk membantu pendidikan keagamaan. Yang penting, ada kemauan politik. Sebab bantuan untuk pendidikan keagamaan masih bisa disalurkan lewat pos bantuan sosial. Hanya, kelemahannya, bantuan tersebut tak bisa rutin dikucurkan.

Sebagian daerah lain meresponsnya dengan membentuk peraturan daerah (perda) tentang madrasah diniyah. Misalnya Banjar, Indramayu, Cirebon, Pandeglang, dan diperjuangkan beberapa daerah lain, seperti Tangerang dan Majalengka. Dengan perda diniyah itu, APBD berkewajiban mengalokasikan anggaran tetap. Apa pun bunyi surat Mendagri tidak berpengaruh.

Lima bulan setelah surat edaran Mendagri beredar, pada Februari 2006 Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Depdagri, Daeng M. Nazier, membuat surat klarifikasi bertajuk “Dukungan Dana APBD”. Surat yang ditujukan ke gubernur, bupati, wali kota, serta ketua DPRD provinsi dan kabupaten itu menegaskan, “… sekolah yang dikelola oleh masyarakat, termasuk yang berbasis keagamaan seperti madrasah,… dapat didanai melalui APBD sepanjang pendanaan yang bersumber dari APBN belum memadai.”

Daeng M. Nazier juga membuat klarifikasi lewat keterangan pers. “Akhir-akhir ini berkembang penafsiran yang salah terhadap isi surat edaran Menteri Dalam Negeri,” katanya. “Seolah-olah Menteri Dalam Negeri melarang/tidak memperbolehkan dana APBD digunakan untuk mendanai program/kegiatan sekolah-sekolah berbasis keagamaan.”

Nazier menyinggung adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiah, dan aliyah, dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada Daerah. Padahal, konteksnya berbeda. “Yang tidak menjadi urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintahan daerah.”

Ditegaskan pula, “Seharusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan.” Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar di tiap-tiap daerah.

Surat itu segera diimplementasikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk meredam aksi mogok para guru madrasah. Namun disinyalir banyak daerah lain tidak mau merujuknya, karena surat itu hanya ditandatangani direktur jenderal. Perlu ada ralat langsung dari Mendagri. Tarik-menarik di balik layar pun masih berlangsung kencang.

Maka, pada Juni 2007, Mendagri ad interim Widodo AS (karena Moh. Ma’ruf sakit) membuat Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2008. Peraturan ini menekankan dilarangnya diskriminasi dalam alokasi anggaran: “Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.”

Empat bulan kemudian, Oktober 2007, lahir PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tadi. “Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan diniyah, sebenarnya sudah sangat kuat,” kata Amin Haedari, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag.

Namun Amin mengaku masih saja ada daerah yang bertanya, minta kepastian, tentang boleh tidaknya APBD membiayai sekolah agama. “Baru-baru ini, ada DPRD dari Bangka Belitung yang juga bertanya,” kata birokrat yang banyak membuat terobosan pemberdayaan pesantren itu. Pasca-keluarnya PP itu, semestinya politik anggaran untuk pendidikan keagamaan lebih mulus berjalan.

Tapi mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Masduki Baidlowi, menilai diskriminasi anggaran daerah sampai saat ini masih berlangsung. Diskriminasi itu bukan hanya dalam bentuk tidak dialokasikannya anggaran sama sekali. Ada yang memberi alokasi tapi dengan jumlah yang tidak sebanding dengan pendidikan umum. “Itu juga diskriminasi,” katanya.

Masduki menyebut kasus tunjangan guru di DKI Jakarta. Guru di lingkungan Depdiknas mendapat tunjangan Rp 2,5 juta sebulan. Tapi guru madrasah hanya memperoleh Rp 500.000. “Semestinya justru dilakukan kebijakan afirmatif. Perbandingannya, tiga buat madrasah, dua buat sekolah umum,” katanya. “Karena dari awal posisi sarana-prasarana madrasah sudah tertinggal jauh.”

Seretnya alokasi anggaran buat pendidikan keagamaan di tingkat dearah mendorong perencana anggaran tingkat pusat lebih meningkatkan pasokan anggaran. Gelontoran anggaran yang paling besar sejak akhir 2007 adalah diberikannya tunjangan untuk 501.000 guru non-PNS yang mengajar di semua jenjang sekolah agama Islam. Mulai tingkat RA sampai aliyah. Tiap bulan, per orang memperoleh Rp 200.000. Total dalam setahun Rp 1,2 trilyun.

“Ini sudah menjadi tunjangan tetap tiap tahun,” ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Perencanaan Depag. “Karena banyak guru swasta di madrasah yang sudah mengajar belasan tahun tapi dengan imbalan di bawah Rp 100.000 sebulan.” Tidak mudah, katanya, mengupayakan golnya alokasi tunjangan ini.

Namun, seberat-beratnya memperjuangkan anggaran, menurut Djunaidi, ada hal lanjutan yang jauh lebih penting dan berat. “Yaitu memastikan bantuan pendidikan itu tepat sasaran,” katanya. “Semua orang tahu, birokrasi kita masih korup.” Alokasi dana buat murid dan guru harus betul sampai di tangan mereka. “Jangan sampai mengendap di kantong ketua yayasan atau kepala sekolah,” ujarnya.

Asrori S. Karni, Wisnu Wage Pamungkas (Bandung), Rosul Sihotang (Medan), Wayan Bakori (Denpasar), dan Antonius Un Taolin (Kupang)
[Pendidikan, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 17 Januari 2008]


Sumber :

(http://apit.wordpress.com/2008/02/01/pendidikan-keagamaan-politik-pendidikan-penebus-dosa/)

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa )

Sumber :
(http://www.maarif-nu.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=14)

Kurangnya Pendidikan Agama Picu Kekerasan

Pendidikan menjadi kunci utama pembentukan kepribadian anak. Pertambahan usia anak memiliki konsekuensi pada perubahan proses pendidikan yang mereka terima. Oleh sebab itu, bertambah usia anak dan berubahnya perilaku mereka harus disertai pendidikan yang tepat sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Pendidikan agama menempati posisi yang vital menyertai proses pendidikan anak. Kurangnya pendidikan agama dapat memicu tindak kekerasan. Berikut perbincangan Reporter CMM Yulmedia dengan Hj. Nidalia Djohansyah Makki. Anggota Komisi II DPR RI:

Tindak kekerasan marak di mana-mana. Perilaku tersebut ternyata merambah pada lembaga pendidikan, IPDN misalnya. Mengapa demikian?
Peristiwa ini telah membuka mata kita, mengetuk pintu relung hati hati kita yang paling dalam, apakah dari bangku pendidikan yang ada sekarang ini ajaran yang menyangkut moral, pendidikan agama serta tuntunan yang menjunjung tinggi bahasa nurani dan kemanusiaan masihkah dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah yang bakal melahirkankan generasi-generasi untuk memimpin bangsa ini selanjutnya? Karena kita tahu, manusia tidak bisa hanya disuguhkan ilmu pengetahuan an sich (semata), melainkan juga perlu diimbangi dengan suguhan-suguhan untuk mengisi ruang-ruang spiritual yang ada pada diri masing-masing kita, seperti nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Intinya, ajaran-ajaran atau pendidikan berlandaskan keagamaan mesti selalu ada.

Berbicara pendidikan agama, faktor apa yang dapat mempengaruhi perkembangan keagamaan kita?
Perkembangan keagamaan anak, antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal di luar sekolah termasuk dalam keluarga. Kedua, faktor makanan yang disajikan orangtua untuk anak. Al-Qur-’an mengisyaratkan agar memakan makanan dan meminum minuman yang halal dan baik (halalan thayyiba). Makanan yang disediakan orang- tua adalah bahan dasar yang akan mengalir dalam darah anak. Jika makanan itu halal dan baik, maka akan baik pulalah akibatnya pada masa depan dan kehidupan anak. Ketiga, faktor doa yang menjadi kekuatan spiritual bagi perkembangan anak. Secara sederhana, doa adalah suatu harapan yang diwujudkan dalam ucapan dan perilaku. Ucapan buruk orangtua kepada anaknya bisa menjadi doa. Demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya, hindarilah kata-kata yang berisi laknatan kepada anak. Berikan ucapan dan kata-kata yang mulia untuk anak-anak. Tunjukan perilaku yang terpuji di hadapan anak. Hindari percekcokan di depan anak.

Dalam membimbing perkembangan keagamaan sang anak apa saja yang mesti diperhatikan?
Kita semua dilahirkan dalam keadaan suci. Lahir bersih tanpa noda apapun. Dalam al-Quran dijelaskan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur,” (QS an-Nahl [16]: 78). Sejak lahir itulah setiap individu mulai dihiasi warna-warni kehidupan, sehingga selama proses perawatan ini pula, tumbuh kesadaran cinta kasih sebagai fitrah yang dianugerahkan-Nya. Membimbing perkembangan keagamaan anak seyogyanya dilakukan sejak dini. Anak mulai belajar shalat dan mengaji, belajar berbuat kepada orangtua dan sesama manusia. Mendekatkan anak pada agama dapat pula dilakukan dengan mengondisikannya dalam ruang kehidupan yang serba teratur dengan tetap memelihara kebebasan dan kreativitasnya. Bimbinglah dan perkenalkan anak pada lingkungan yang religius. Ciptakan suasana rumah dalam nuansa yang religius, pilihlah lingkungan sosial yang memungkinkan anak belajar beragama, serta kondisikan anak untuk memilih sendiri sekolah dengan warna agama yang lebih dominan.

Hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam memberikan pendidikan keagamaan pada anak?
Keteladanan merupakan kunci keberhasilan dalam mendidik anak. Lebih-lebih pada usia yang penuh diwarnai dengan perilaku meniru. Anak akan melakukan apa yang dilakukan orangtua serta orang-orang yang ada di sekitarnya. Selain itu, didiklah anak atas dasar kasih sayang, penuh perhatian dan pengertian, serta dalam suasana dan sikap yang penuh kesabaran. Pesan-pesan al-Quran dalam memberikan pendidikan salat kepada anak, secara implisit sekaligus memaparkan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak. Salat juga mengajarkan kebersihan, sebab salah satu syarat dalam melaksanakan salat adalah bersih dari hadats dan najis. Dengan salat juga kita dapat melatih anak menutup aurat dan menanamkan kesadaran jenis kelamin. Sebab salat mensyaratkan menutup aurat, dan ketika berjamaah terikat dengan ketentuan imam dan makmum. Mendidik anak salat juga sekaligus mendidik anak belajar membaca al-Quran, sebab dalam pelaksanaan salat terdapat kewajiban membaca surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya dalam al-Quran. Lebih penting lagi adalah membina dan membimbing anak dalam hidup berjamaah. Inilah, antara lain, prinsip pendidikan yang integratif, yang akan membawa anak didik memasuki dunia komprehensif.(CMM)


Sumber :

(http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4263_0_3_0_M)

Boomm!!!Dimana-mana Pendidikan Anak Usia Dini

Boomm!!! Pendidikan Anak Usia Dini ada dimana-mana…. sedang booming rupanya …..Mulai dari bayi belajar membaca,bayi belajar matematika,bayi belajar ensiklopedi,bayi belajar berenang,bayi belajar memasak upsss yang ini blum ada hehehe :)

Kayaknya jaman informasi ini bayi-bayi juga mulai kebanjiran informasi ….Sebenarnya gak ada yang salah dengan itu semua …Anak kecil terutama bayi sangat suka belajar ,mereka lebih suka belajar daripada makan ,lebih suka belajar dari pada tidur .Saya setuju mengenai Pendidikan Anak Usia Dini .

Kita orang dewasa selalu menganggap menjadi bayi adalah hal yang sangat menyenangkan ,bayi yang cantik itu tidur ditempat yang nyaman ,dan tugas utamanya hanya makan dan tidur .Tetapi coba bayangkan Anda menjadi bayi …Bayi tidak dilahirkan didunia seperti itu ,bayi-bayi cantik telah melewati perjalanan yang penuh bahaya sepanjang hidupnya ,meskipun bayi-bayi ini dilahirkan denganm operasipun ,dia punya tugas yang sangat banyak .

SANGAT MENAKJUBKAN! bahwa bayi-bayi cantik itu sangat cepat untuk belajar ,dalam proses setelah melahirkan bayi-bayi cantik ini harus beradaptasi hidup di udara bukan di dalam cairan ,dia harus belajar dasar untuk BERNAFAS!

Saat dilahirkan bayi-bayi yang cantik ini hampir dikatakan buta ,dia terpapar sinar untuk pertama kalinya dan dia berusaha menggunakan matanya untuk melihat dan bayi cantik ini menjadi cepat lelah dan mengantuk .Dihari lahirnya bayi cantik ini juga hampir dikatakan tuli ,dia hanya bisa mendengar suara keras tetapi kacau dan sangat sulit untuk mencernanya .Tangan dan kakinya seharusnya bisa bergerak bebas tapi dia dibungkus seperti mummy ,dia hanya bisa mengangis untuk cara berkomunikasinya karena paru-parunya belum siap untuk mengeluarkan suara.(Saya rasa kita harus mempercepat proses adaptasinya dengan Pendidikan Usia Dini agar bayi cantik ini tidak menderita terlalu lama :) )

Hampir semua bayi yang cantik ini dilahirkan dalam keadaan hampir buta,tuli dan di dunia yang tidak menyenangkan ..tidak yang seperti kita bayangkan ,bayi cantik ini harus berjuang menghadapi kebutaan,tuli dan kondisi tidak dapat bergerak leluasa .

Dan bayi-bayi cantik ini berpikir adalah tugasnya untuk belajar melihat,mendengar,merasakan dan bergerak ,dan bayi cantik ini menggunakan sepanjang waktu ‘melek’nya untuk belajar semua hal ini .Bayi begitu lahir langsung dibungkus dalam selimut kita berusaha membuat hangat tubuhnya,tetapi kita memasang AC yang dingin agar kita tetap segar ,kalo seumpama AC dimatikan maka yang kepanasan KITA.Didalam masa tumbuh kembangnya kita menggunakan stroller,walker,swing or baby sitter or apa aja deh buat membuat kita nyaman ,enak-enak gak usah gendong sana sini ….Semuanya demi kenyamanan Anda !!

Bayi-bayi yang cantik amat sangat bergantung dengan kita ,Kita membatasi ruang gerak mereka untuk merangkak dan meramnbat .Bayangkan saja Anda yang menjadi bayi itu ! Tidakkah kita berpikir untuk berperan dalam Pendidikan Anak di Usia Dini biarkan mereka berkembang dan beradaptasi dengan lingkungannya .

Sebagai orangtua dan makhluk sosial kita harus melihat dengan jeli apa prioritas kita ketika kita memutuskan untuk melahirkan seorang bayi yang cantik ke dunia ini .Ketika kita meneliti lebih lanjut ,kita telah menjadi egois ,tidak sensitif dan melihat hanya jangka pendeknya,dan hanya mendesain lingkungan bayi sedemikian rupa hanya untuk kenyamanan kita,mengesampingkan hak bayi-bayi cantik kita untuk bergerak dan mengembangkan kemampuannya secara maksimal .Peranan orangtua dalam Pendidikan Anak Usia Dini akan semakin penting,semakin banyaknya Orangtua yang bekerja karenan tuntutan jaman dan kondisi ekonomi. Mari kita investasikan waktu yang ada dan segalanya ,mengesampingkan kenyamanan kita untuk perkembangan jangka panjang anak-anak bayi kita .Tapi dengan adanya Pendidikan Anak Usia Dini jangan lupa mengisi nilai moral anak,kita sebagai orangtua harus punya Rumus Sukses Mendidik Anak Dahulu ,Sehingga hidup tidak sekedar hidup-hidupan .

Hidup Pendidikan Anak Usia Dini !!!


Sumber :

(http://anakjenius.info/boommdimana-mana-pendidikan-anak-usia-dini/)

Pendidikan Matematika pada Anak Usia Dini

Rendahnya mutu pendidikan masih disandang bangsa Indonesia. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan pendidikan pada anak sejak dini, terutama pendidikan matematika. Mengingat image masyarakat terhadap matematika yang menganggap pelajaran yang menakutkan. Padahal, matematika dapat diberikan kepada anak sejak usia 0+ tahun.

Anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.

Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun.

Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak dinamakan masa keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.

Bagi yang memiliki anak, tentu tidak ingin melewatkan masa keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak usia dini disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor kesehatan, gizi dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka faktor lingkungan harus direkayasa dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi faktor bawaan tersebut bisa diperbaiki.

Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak antara lain: pertama, perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.

Kedua, perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi. Ketiga, perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan. Keempat, perkembangan kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak. Kelima, perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu. Keenam, perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial.

Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama, mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6 bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai belajar berbicara.

Fase kedua, terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama dengan berbagai macam permainan dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.

Fase ketiga, terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.

Pendidikan Matematika

Untuk pendidikan matematika dapat diberikan pada anak usia 0+ tahun sambil bermain, karena waktu bermain anak akan mendapat kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan dengan bebas mengekspresikan dirinya. Dengan bermain, tanpa sengaja anak akan memahami konsep-konsep matematika tertentu dan melihat adanya hubungan antara satu benda dan yang lainnya.

Anak juga sering menggunakan benda sebagai simbul yang akan membantunya dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih abstrak. Ketika bermain, anak lebih terstimulasi untuk kreatif dan gigih dalam mencari solusi jika dihadapkan atau menemukan masalah.

Pada pendidikan matematika dapat diberikan misalnya pada pengenalan bilangan, terlebih dahulu diperdengarkan angka dengan menyebutkan angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan perlihatkan benda-benda berjumlah satu, dua, tiga dan seterusnya, bukan berarti materinya langsung mengenalkan lambang bilangan "dua" karena anak akan bingung. Dengan bertambahnya kecerdasan dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan.

Pengenalan geometri, anak diberikan berbagai macam bentuk bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran dan sebagainya. Dengan memerintahkan anak mengambil bangun yang disebutkan nama dan ciri-cirinya.

Pengenalan penjumlahan dan pengurangan, pakailah lima bola berdiameter sama yang dapat digenggam. Untuk pengurangan, sebanyak lima bola diambil satu, dua, ..., dan lima. Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, dua, ..., sampai empat pada bola yang tergenggam. Mengingat ciri khas pada setiap jumlah bola yang sering dilihatnya, anak pun akan melihat kejanggalan ketika dikurangi atau ditambah. Peristiwa tersebut membuatnya semakin memahami hakikat "bertambah" dan "berkurang", yang ditandai perubahan jumlah bola yang digenggamnya. Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan warnanya beragam, pemahamannya tidak lagi terikat dengan ukuran, tetapi pada jumlah bola yang tampak.

Pengenalan hubungan atau pengasosiasian antara benda, misalnya berikan kotak dan dilanjutkan dengan memperlihatkan benda yang berbentuk kotak lain seperti kotak susu, bungkus sabun dan sebagainya. Dibenak anak dapat menghubungkan antar kotak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pendidikan matematika dapat diberikan kepada anak usia dini dimulai dari pendidikan keluarga, yang dilakukan oleh orang tua sebagai guru terdekat sang anak.

Orang Tua "Guru" Kreatif

Peran penting yang dapat dilakukan orang tua yaitu sebagai: Pertama, pengamat. Orang tua mengamati apa yang dilakukan oleh anak sehingga dapat mengikuti proses yang berlangsung. Ketika dibutuhkan, orang tua dapat memberikan dukungan dengan mengacungkan jempol, mengangguk tanda setuju, menyatakan rasa sukanya, bahkan ikut bermain. Kedua, manajer. Orang tua memperkaya ide anak dengan ikut mempersiapkan peralatan sampat tempat bermain. Ketiga, teman bermain. Orang tua ikut bermain dengan kedudukan sejajar dengan anak. Keempat, pemimpin (play leader). Dalam hal ini orang tua berperan menjadi teman bermain, sekaligus memberikan pengayaan dengan memperkenalkan cara serta tema baru dalam bermain.

Pengaruh orang tua sebagai "guru" pada anak memiliki porsi terbesar dilingkungannya, sehingga orang tua dalam mendidik dapat beracuan: pertama, berorientasi pada anak (pupil centered). Dalam mengajar anak tidak dengan komunikasi satu arah dengan kata lain orang tua dinyatakan orang yang paling tahu dan paling pandai.

Kedua, dinamis. Dalam mendidik anak bawalah mereka sambil bermain dan orang tua dapat memancing anak untuk memunculkan ide kreatif dan inovatifnya. Ketiga, demokratis. Ini berarti, memberikan kesempatan pada anak untuk menuangkan pikirannya dan bersikap tidak sok kuasa.

Sumber :
(http://re-searchengines.com/widarso0508.html)