Upaya dari pendidikan nonformal untuk melayani kebutuhan pendidikan bagi masyarakat yang tak mampu dan tak terlayani di jalur pendidikan formal, nampaknya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Setidaknya hal ini menjadi gambaran betapa wacana kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan nonformal masih perlu diperkuat.
Selain mendukung terlunasinya program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun, pendidikan nonformal juga punya beberapa PR yang tak bisa dibilang sedikit. Selama tiga tahun belakangan ini, tercatat bahwa pendidikan nonformal telah melayani kebutuhan pendidikan bagi sekitar 13 juta anak usia dini (0 s/d 6 tahun) dari jumlah seluruhnya yang mencapai 28, 3 juta anak usia dini di Indonesia. Sedangkan untuk program pemberantasan buta aksara, tahun 2007 ditargetkan untuk mencapai 12, 2 juta dari jumlah sasaran sebanyak 15, 4 juta orang yang belum melek huruf. Sedianya, 2009 yang akan datang diniatkan agar Indonesia benar-benar bebas dari buta huruf.
Pemberantasan buta aksara ini diberikan dengan dukungan pengetahuan tambahan melalui program Keaksaraan Fungsional. Melalui program ini, para warga belajar, diberi wawasan mengenai pelajaran ketrampilan dengan bentuk produk berupa kerajinan-kerajinan tradisional. Direktur dari Direktorat Pendidikan Masyarakat, Dr. Sujarwo S, M. Sc juga menggaet 86 perguruan tinggi, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) untuk bekerja sama dalam program pemberantasan buta aksara.
Berikutnya, dari sisi lain juga terus digenjot penuntasan Wajar Dikdas lewat program penyelenggaraan pendidikan kesetaraan. Paket A yang setara dengan sekolah dasar (SD) telah ditargetkan tahun ini untuk mencapai APK sebanyak 0,11 juta anak.
Depdiknas dan Departemen Agama juga telah sepakat berbagi tugas untuk mengejar target ketuntasan wajib belajar 9 tahun terhadap anak usia SMP (13 -15 tahun) sebanyak 1.468.181orang yang belum tertampung. Dari sisi pendidikan nonformal, ditargetkan tahun ini untuk mencapai APK sebanyak 0,51 juta anak, atau sekitar 510 ribu anak yang ditargetkan diraih ke dalam layanan program kesetaran Paket B setara SMP.
Terakhir, untuk Paket C setara SMA ditargetkan sebanyak 35ribu anak usia 15 s/d 18 tahun yang bisa terlayani. Terhadap efek samping dari sistem ujian nasional, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo juga telah menyatakan dukungan penuhnya bagi kualitas ijazah program kesetaraan Paket C. Menurutnya, semua anak SMA lulusan ujian paket C juga punya hak dan prioritas yang sama untuk punya kesempatan diterima di seluruh perguruan tinggi manapun di Indonesia.
Juli lalu, masih diterima keluhan masyarakat yang ditolak di beberapa perguruan tinggi karena hanya berijazah Paket C. Mendiknas menanggapi, bahwa masyarakat berhak menuntut perguruan tinggi yang menolak ijazah Paket C.
Ini hanya sekelumit gambaran, bahwa sesungguhnya pendidikan nonformal masih menjadi sisi yang belum banyak dipandang sebagai pendukung penuh layanan pendidikan bagi masyarakat.
Bukan Sekadar Wacana
Pendidikan nonformal masih jadi belantara yang belum banyak “tersentuh”. Pernyataan ini diungkap oleh Prof. Dr. Dewa Komang Tantra, salah satu anggota tim akademisi pendidikan nonformal. Di tengah belantara ini, sedang dirintis upaya-upaya standarisasi demi meningkatkan mutu dan eksistensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, di tengah masyarakat luas. Eksistensi para pendidik pendidikan nonformal mulai dinilai melalui berbagai standar. Untuk jaminan kompetensi tenaga kerja, dipegang oleh BNSP.
Kerja-kerja BNSP sebagai lembaga independen, berkewajiban memberikan sertifikasi kompetensi terhadap tenaga kerja yang telah lulus pada level-level tertentu. Kompetensi seorang lulusannya, ditandai oleh selembar surat sertifikat dengan masa berlaku dalam kurun waktu tertentu. Standarisasi lainnya juga melibatkan BSNP. Mengutip pidato paparan Dr. Suharsono MM., M.Pd di sebuah rapat koordinasi PTK-PNF Februari lalu, dinyatakan bahwa hendaknya para pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal adalah orang-orang yang punya kompetensi dan juga berpendidikan.
Sebagian besar dari para PTK-PNF juga berharap memperoleh kesejahteraan melalui pengangkatan CPNS. Di dalamnya terdapat aturan kualifikasi PNS yang mengharuskan para calonnya mengenyam tingkat pendidikan tertentu. “Yang perlu diingat adalah bahwa kompetensi dan kualifikasi sesungguhnya tak diukur dari ijazah sarjana,” tegas Dewa Komang. Bagaimana pun, pemerintah melalui Direktorat PTK-PNF telah memberi perhatiannya dalam bentuk program beasiswa rintisan gelar untuk jenjang S1, S2, dan S3. Bekerja sama dengan 17 perguruan tinggi negeri se-Indonesia, antara lain Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Mulawarman, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Negeri Gorontalo, dan Universitas Cendrawasih. Jurusan-jurusan yang disediakan, mayoritas jurusan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, dan jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Untuk jurusan pendidikan anak usia dini, hanya ada di UNJ. Sejauh ini, program beasiswa rintisan gelar untuk memenuhi kebutuhan belantara pendidikan nonformal yang di dalamnya terdapat sekitar 30.000 lembaga kursus, dan tak kurang dari 106 jenis pendidikan keterampilan, tampaknya masih jauh dari sempurna.
Namun tetap diharapkan, tahun 2007 program ini dapat mencapai sasaran target sebanyak 231 orang PTK-PNF (untuk jenjang S1). Standarisasi lainnya sedang dirintis melalui peningkatan kualitas Training Of Trainer (TOT) dan diklat-diklat PTK-PNF. Dalam hal ini, BAN PNF (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal) terlibat didalamnya sebagai badan pemberi akreditasi di level lembaga-lembaga dan program-program pendidikan nonformal. Termasuk beberapa komponen didalamnya, yaitu kurikulum dan pembelajarannya, peserta diklat, fasilitator diklat, penyelenggara diklat, sarana dan prasarana diklat, serta pembiayaan diklat.
“Untuk akreditasi ini, BAN PNF mendapatkan sumber referensi standarisasi dari beberapa sumber: BNSP, BSNP, dan Depnakertrans. Semuanya kita sinergikan, tanpa menghilangkan karakter pendidikan nonformal yang seharusnya tetap dipertahankan,” ungkap Dewa Komang yang juga menjabat sebagai Ketua BAN PNF.
Mutu Ujung Tombak
“Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal adalah satu-satunya direktorat yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang berani melaksanakan ISO 9001:2000 dalam rangka meningkatkan mutu pelayanannya,” papar Dr. Fasli Jalal PhD, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, pada acara launching ISO 9001:2000 September 2006 lalu.
Penghargaan ini, untuk keunggulan pelaksanaan dan manajemen program Direktorat PTK-PNF. Pelaksanaan ISO 9001:2000 adalah yang pertama kalinya dilakukan di lingkungan Direktorat Departemen Pendidikan Nasional, sehingga nantinya Dierktorat PTK-PNF yang melaksanakan ISO 9001:2000 diharapkan dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan menjadi role model untuk penerapan ISO pada direktorat-direktorat lainnya.
Peristiwa ini menjadi catatan penting bagi dunia pendidikan nonformal di Indonesia. “Setelah kami mendapatkan penghargaan ini, kami tidak pernah berhenti perbaiki kualitas program. Karena bagaimana pun, para pendidik dan tenaga pendidik pendidikan nonformal ini, adalah ujung tombak. Jadi, tetap harus ditingkatkan kompetensi dan kualifikasinya,” tegas Erman Syamsuddin, S.H, M. Pd, Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (PTK-PNF) pada acara forum ilmiah tim akademisi PTK PNF bulan Agustus lalu. Tercatat, sepanjang tahun 2003 s/d 2007, telah 397 orang tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan PNF yang mendapatkan beasiswa rintisan gelar program sarjana (S1), paska sarjana (S2), dan program doktoral (S3).
Pendidikan Sepanjang Hayat
Pada bulan Mei 2007 lalu, telah dilakukan penandatanganan pengubahan nama dari Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal. Keduanya memang sama-sama berada di luar jalur pendidikan formal. Bisa dipastikan akan ada banyak paradigma baru yang muncul belakangan. Penguatan pendidikan di lingkungan keluarga, kini mulai diperhitungkan sebagai potensi yang mendukung kelancaran pendidikan formal.
Berkenaan hal tersebut, Erman Syamsuddin menyatakan pendapatnya, “Dengan bergantinya nama menjadi PNF-I atau pendidikan nonformal dan informal, ini berarti sudah semakin sesuai dengan isi Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan itu ditempuh melalui tiga jalur, yaitu formal, nonformal, dan informal.” Ia juga menyatakan bahwa ada kemungkinan besar, akan dilakukan penguatan-penguatan terhadap porsi pendidikan informal. Penguatan di sisi pendidikan informal, yang dimaksud adalah pendidikan di lingkungan keluarga. “Di sana nanti akan dibentuk pemahaman bahwa pendidikan di lingkungan keluarga ini berjalan dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Kami mungkin juga akan siapkan beberapa hal untuk menuju penguatan pendidikan informal ini. Namun kita tidak bisa memandangnya sebagai hitam dan putih saja, ” tegas Erman.
Sumber :
(http://www.personawiyata.web.id/detailartikel.php?kode=23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar