1. PENDAHULUAN
Topik risalah ini saya pilih karena terdorong oleh menguatnya kecemasan yang saya rasakan. Sebagai seorang warga negara Indonesia biasa yang mengamati perkembangandi Indonesia akhir-akhir ini, saya merasakan berbagai kecemasan yang muncul . Salah satunya adalah kecemasan akan kehilangan.
Kecemasan ini berkaitan dengan beberapa kalimat berikut, yang pernah saya baca dalam lukisan yang diberi nama ‘The Nightmare of Losing’ karya A.D. Pirous , seniman terkemuka dan Guru Besar Emeritus ITB:
You lose your wealth, you lose nothing
You lose your health, you lose something
You lose your character, you lose everything [1]
Saya melihat dan merasakan sejak tiga dekade terakhir ini Indonesia mengalami proses kehilangan. Kita kehilangan hutan kita. Indonesia sekarang dikenal sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia [2]. Kita kehilangan tanah subur kita. Luas tanah kritis di Indonesia pada tahun 2008 ditaksir 77,8 juta hektar atau sekitar 40% luas daratan Indonesia [3], dan tanah kritis ini diperkirakan masih akan bertambah satu juta hektar setiap tahunnya. Kita makin kehilangan hak guna tanah kita untuk perkebunan . Makin banyak perusahaan asing yang bergerak di bidang perkebunan di Indonesia.. Kita kehilangan kekayaan alam yang berasal dari laut yang dikeruk secara ilegal oleh penjarah dari dalam maupun dalam negeri . Indonesia kehilangan daya saing. Dalam World Competitiveness Scoreboard tahun 2007, Indonesia menempati peringkat 54 dari 55 negara [4], turun dari peringkat 52 pada tahun 2006. Kita kehilangan niat untuk mentaati hukum atau peraturan, bahkan mentaati aturan yang paling sederhana yaitu aturan lalu lintas; atau di pihak lain orang-orang melanggar hukum dengan main hakim sendiri terhadap kelompok yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Kita kehilangan kecintaan terhadap keseniaan dan busana tradisional yang sangat indah dari berbagai daerah Indonesia seperti baju kurung, baju bodo, kebaya. Sebagian besar dari kita sudah kehilangan kejujuran dan rasa malu. Sudah sekian tahun lamanya Indonesia mendapat predikat sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi di dunia [ 5 ], dan predikat itu tidak membuat kita merasa malu, dan korupsi masih terus berlangsung. Kita kehilangan rasa ke Indonesian kita. Kaum muda Indonesia makin menonjolkan kepentingan daerah daripada kepentingan bangsa [6]. Kita kehilangan cita-cita bersama sebagai bangsa Indonesia. Tiada lagi ‘Indonesian Dream’ yang mengikat kita bersama , yang lebih menonjol adalah cita-cita golongan untuk mengalahkan golongan lain.
Indonesia sudah kehilangan sangat banyak hal dan kehilangan ini masih berlangsung, dan daftar kehilangan ini masih bisa diperpanjang lagi. Pertanyaannya, mungkinkah ini tanda-tanda kita meluncur ke arah kehilangan segala-galanya?
Alasan kedua untuk membahas topik ini adalah optimisme. Tidak sedikit orang sekarang ini berpendapat bahwa ketidak-jujuran, ketidak-pedulian, mau menang sendiri, mengutamakan diri dan golongan sendiri, tidak taat hukum, tidak punya semangat kerja, menyukai kekerasan, memang merupakan sifat-sifat dasar orang Indonesia. Saya sendiri tidak berada dalam kelompok itu.
Apabila kita menengok kembali pada perjalan sejarah bangsa Indonesia, khususnya pada periode perjuangan kemerdekaan, selama periode tersebut masyarakat dan para pemimpin perjuangan memunculkan sifat-sifat istimewa mereka. Kualitas istimewa inilah yang dibangkitkan, dipupuk, dikuatkan oleh para pejuang kemerdekaan, yang akhirnya mengantarkan masyarakat yang tinggal di ribuan pulau ’zamrud kalutistiwa’ ini, yang sangat beraneka ragam baik dari sisi suku, agama, alam, dan budaya , memproklamirkan diri sebagai satu negara bangsa, yaitu Negara dan Bangsa Indonesia. Kualitas istimewa itu mencakup kesepakatan kuat mengenai cita-cita bersama, semangat ke-kita-an, penghargaan atas kebhinekaan, kesediaan berkorban, berani kerja keras, ketulusan, solidaritas, dan rasa percaya diri. Ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia bukan bangsa yang secara histotris adalah bangsa tak bermutu. Masyarakat Indonesia memiliki kualitas atau kekuatan yang apabila dipupuk dan dikembangkan dapat mengantarnya kepada kemajuan.
Itu dulu, bagaimana dengan sekarang ? Apakah sifat-sifat tersebut masih tersisa?
Selama tiga puluh tahun, di samping berinteraksi dengan teman-teman dari kalangan masyarakat akademik, saya punya banyak kesempatan berinteraksi dengan rekan-rekan dari lembaga swadaya masyarakat, dunia bisnis dan ribuan guru dari tingkat pendidikan dasar dan menengah. Di kelompok lembaga swadaya masyarakat saya bertemu dengan sangat banyak orang, tua dan muda, yang bekerja secara tulus, atas dasar idealiesme yang tinggi untuk kepentingan masyarakat. Di luar dugaan , semangat kerja keras, idealisme, kepeduliaan terhadap kemajuan masyarakat luas, keteguhan memegang etika, saya jumpai juga di kalangan para professional -pucuk pimpinan, manajer- dan pengusaha ( yang sudah lama bersusaha maupun yang baru) yang bergerak di sektor swasta, suatu sektor kegiatan yang sering diasosikan hanya bertujuan mencari untung. Ketulusan, dedikasi, semangat untuk maju, juga bisa ditemukan pada guru-guru dan kepala sekolah.
Di pihak lain, di dalam kampus, saya melihat ada hasrat yang kuat dari sebagian mahasiswa untuk menjadikan masa pendidikan mereka di perguruan tinggi sebagai sebuah kesempatan emas untuk pengembangan jati-diri mereka di samping sebagai kesempatan untuk menimba ilmu pengetahuan.. Ini dapat dilihat melalui beberapa kegiatan ekstra kurikuler mahasiswa dan diskusi-diskusi yang mereka selenggarakan. Kebetulan saya sering menyaksikan kegiatan dan diskusi-diskusi seperti itu .
Jadi, di balik hal-hal negatif yang terjadi di Indonesia, saya melihat ada hal-hal positif yang hidup di kalangan kelompok-kelompok masyarakat. Dengan kata lain, masih banyak orang yang bekerja keras dengan niat, hati dan perilaku baik di negeri kita ini. Tantangan bagi dunia pendidikan adalah menjadikan lembaga-lembaga pendidkan sebagai tempat pesemain yang lebih suburr untuk tumbuh dan berkembangnya lebih banyak orang dengan sikap dan perilaku positif .
2. KEBUTUHAN NYATA, DULU DAN SEKARANG
Permasalahan Lama yang Tetap Aktual.
Bagi bangsa Indonesia, persoalan pembangunan karakter dan pembangunan bangsa bukan barang baru. Presiden Soekarno melontarkan permasalahan nation building ini dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1957. Presiden Soekarno melihat nation building sebagai fase kedua dalam revolusi Indonesia sesudah fase pertama yang dinamakan fase liberation yaitu pembebasan Indonesia dari penjajahan Belanda. Permasalahan ini dikedepankan sebagai tanggapan terhadap keadaan Indonesia pada saat itu yang ditandai oleh makin kuatnya kecenderunagn mengutamakan kepentingan kelompok - golongan, suku, agama. daerah, partai- di atas kepentingan negara dan bangsa, dan makin lunturnya idealisme. Dalam pidato tersebut juga dinyatakan bahwa fase nation building lebih sulit daripada fase liberation [7]. Pentingnya character building disampaikan oleh Presiden Soekarno pada pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962. Ketika itu, character building ini dikaitkan dengan nation building dan perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajah Belanda [8].
Pada tahun 1956, Slamet Iman Santoso, dalam ceramahnya di depan kelompok studi ‘Lingkaran Pemuda’ menyatakan bahwa ‘tujuan setiap pendidikan yang murni ialah menyususn harga pribadi yang kukuh-kuat dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam masyarakat [9]. Memang dalam ceramah ini tidak disebut istilah karakter secara spesifik namun secara tersirat dapat ditangkap bahwa pembanguan karakter adalah tujuan utama pendidikan.
Sejak tahun tujuh-puluhan sampai sekarang pembangunan karakter dan pembangunan bangsa (character & nation building) tidak banyak mendapat perhatian, khususnya dalam kaitannya dengan pendidikan. Dunia pendidikan kita melontarkan tema-tema yang lebih praktis seperti menyiapkan lulusan siap pakai dan pendidikan berbasis kompetensi. Dengan kata lain, pendidikan cenderung dilihat hanya sebagai instrumen untuk menyiapkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan aktivitas ekonomi. Dalam perspektif ini manusia hanya dipandang sebagai faktor produksi.
Karakter dan Kohesivitas Bangsa sebagai Kekuatan.
Kurangnya perhatian dalam pembangunan karakter secara tidak langsung mengabaikan pengalaman bangsa kita dan pengalaman bangsa lain dalam mencapai kemajuan. Pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia tercapai karena pejuang kemerdekaan berhasil melakukan pendidikan yang bisa membangkitkan kualitas mental yang sangat baik pada bangsa kita yang dinamakan karakter. Keberhasilan Vietnam mengusir tentara Amerika Serikat pada tahun 1975 adalah hasil dari kekuatan karakter, seperti kegigihan, keberanian, kerelaan berkorban, kepercayaan diri, rasa bermartabat, dan persatuan bangsa. Teknologi persenjataan mutkahir dari sebuah negara adikuasa tak bisa mematahkan kekuatan karakter suatu bangsa.
Contoh yang sangat jelas yang sekarang sedang berlangsung di depan mata kita adalah kebangkitan RRC menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia pada awal abad ke-21 ini. Revolusi Kebudayaan China yang diprakarsai oleh Mao Zedong antara tahun 1966 -1976 praktis melumpuhkan perekonomian dan pendidikan China. Selama 10 tahun, semasa Revolusi Kebudayaaan, perguruan tinggi di China tidak menerima mmahasiswa baru dan kaum intekletual dan mereka yang punya keahlian dikirim kekamp para pekerja ( labor camp). Presentase penduduk yang buta huruf meningkat drastis [10 ]. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping China berusaha keluar dari kehancuran yang diwariskan oleh Revolusi Kebudayaan. Salah satu tindakan bersejarah yang dilakukan Deng adalah melakukan reformasi pendidikan dengan arsitek utama reformasi Wakil Perdana Menteri Senior Li Lanqing. Tema utama reformasi pendidikan China yang dimulai pada awal tahun 1990-an adalah pendidkan karakter . Dalam ‘Education for 1.3 Billion’ dinyatakan bahwa tujuan utama reformasi pendidikan di China adalah untuk menjadikan setiap warga China menjadi orang yang berkarakter kuat dan menumbuh kembangkan warga masyarakat yang lebih konstruktif [11].
Di atas telah dikemukakan mengenai peran kekuatan persatuan atau kohesivitas bangsa dalam merebut kemerdekaan. Di samping itu, kohesivitas juga merupakan suatu kekuatan untuk membangun kesejahteraan di era ekonomi pengetahuan sekarang ini. Bangsa-bangsa yang kohesivitasnya rendah, yang selalu berada dalam suasana konflik dan cenderung memecahkan perbedaan dengan cara kekerasan akan menghabiskan energinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang merusak diri sendiri . Dua dekade terakhir ini kita melihat betapa konflik-konflik horizontal di beberapa negara Afrika seperti di Sudan Somalia, Ethiopia, Rwanda, Zimbabwe, Congo, sudah menimbulkan kesangsaraan yang luar biasa pada rakyat di negara-negara tersebut.
Tingkat kohesivitas suatu bangsa atau masyarakat menunjukkan kekuatan modal sosial bangsa atau masyarakat yang bersangkutan . Modal sosial merujuk pada kemampuan orang-orang untuk bekerja sama dalam kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama [12]. Dalam ‘Trust’, Francis Fukuyama menunjukkan dengan berbagai contoh hubungan antara modal sosial dengan kemampuan suatu kelompok masyarakat dalam menciptakan kesejahteraan. Dia menyatakan bahwa ’social capital is critical to prosperity and to what has come to be called competitiveness, …’ [13]
Karakter dan Dunia Kerja
Apakah pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter juga sesuai dengan kebutuhan dunia kerja sekarang ini? Bukankah dunia kerja mencari orang yang kompeten?
Memang di Indonesia sekarang ini faktor kompetensi menjadi tema utama dalam perekrutan dan pengembangan tenaga kerja. Namun ada satu hal yang luput dari pengamatan para manajer atau ekskutif di Indonesia, yaitu hasil penelitian Jim Collins yang ditulis dalam bukunya yang beberapa tahun terakhir ini menjadi buku manajemen terlaris di dunia , ‘Good to Great’. Dalam kajiannya terhadap perusahaan-perusahaan yang berkembang menjadi perusahaan-perusahaan yang sangat hebat ( great company) Jim Collins menemukan bahwa salah satu faktor - dari lima faktor- yang menjadi ciri-ciri dari perusahaan-perusahaan ini adalah bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memilih orang yang tepat (the right person) untuk menjadi bagian dari tenaga kerjanya . Di sini, ketepatan ini lebih terkait dengan karakter orangnya dari pada dengan pengalaman, pengetahuan, atau keterampilannya [14]. Jadi dalam merekrut orang, faktor pertama yang diperhatikan oleh perusahaan yang hebat adalah ’siapa’ orang yang akan direkrut tersebut (first ’Who’, then What). Dengan kata lain, perusahaan yang hebat mencari orang yang berkarakter. Orang-orang dengan karakter yang kuat tidak memerlukan motivasi dari orang lain, sebab mereka akan memotivasi dirinya sendiri. Perusahaan-perusahaan yang hebat tidak mengganggap pengetahuan atau keahlian khusus tidak penting, tetapi mereka mengganggap pengetahuan dan keahlian itu bisa dipelajari, sementara dimensi-dimensi yang berkaitan denagn keyakinan seperti karakter, ethos kerja, dedikasi untuk memenuhi komitmen, akarnya jauh lebih dalam dan lebih sulit diubah.
3. BEBERAPA PENYEBAB MELEMAHNYA KARAKTER DAN MENURUNNYA
KOHESIVITAS MASYARAKAT INDONESIA
Bangga Berhutang.
Ketika pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1960-an menggalakkan pembangunan ekonomi, tanpa disadari ada anggapan bahwa kalau ada dana maka semuanya akan berjalan seperti yang diharapkan. Kemudian mulailah Indonesia membiayai pembangunannya dengan hutang luar negeri dan hutang itu makin lama makin besar. Muncullah kriteria baru dalam melihat keberhasilan dalam menjalankan pembangunan, yaitu besarnya hutang. Banyak pejabat negara pada dekade 1980-an dan awal 1990-an yang dengan bangga menyatakan bahwa misi yang dipimpinnya berhasil karena sudah berhasil mendapatkan hutang (istilahnya dihaluskan menjadi ’bantuan’) luar negeri lebih banyak.
Membiaya pembangunan dengan hutang tidak dengan sendirinya salah. Namun yang keliru adalah bangga akan hutang yang kita dapatkan. Rasanya tidak ada kelompok masyarakat di kepuluan Nusantara yang memegang tata-nilai bangga menjadi penghutang atau bangga menjadi bangsa yang menandahkan tangan. Pembangunan yang berpusat pada hutang ini seolah-olah didasarkan pada asusmsi bahwa materi atau uang dapat menggantikan segalanya. Pengetahuan, pendidikan, ethos kerja dan kejujuran lalu makin terpinggirkan.
Pembangunan Ekonomi yang Terlalu Bertumpu pada Sumber Daya Alam.
Pembangunan ekonomi sejak akhir tahun 1960-an sampai sekarang terlalu bertumpu pada sumberdaya alam. Seolah-olah Republik ini di masa depan akan bisa berjaya selamanya dengan mengandalkan sumber daya alam . Seakan-akan minyak, batubara, tembaga, emas, hutan akan bisa kita pakai sebagai tumpuan kesejahteraan bangsa untuk selama-lamanya. Sumberdaya alam yang melimpah telah mengakibatkan pembuat kebijakan pembangunan ekonomi berada pada comfort zone. Akibatnya, kebijakan pembanguan Indonesia kurang memperhatikan pengembangan sumber kesejahteraan yang selalu bisa diperbaharui yaitu manusia dan dan masyarakat yang berkualitas tinggi. Karena itu, tidak mengherankan apabila selama lebih dari tiga dekade alokasi anggaran pembangunan untuk pendidikan Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan anggaran pembangun sektor-sektor lain. Indonesia terkena kutukan sumber daya (resource curse); kekayaan alam Indonesia bukannya menjadi sumber kekuatan, namun menjadi awal dari kelemahan.
Menggunakan sumberdaya alam untuk modal pembangunan tidak dengan sendirinya salah. Kekeliruan kebijakan pembangunan selama tiga dekade adalah tidak memakai sebagian besar pendapatan yang berasal dari sumber daya alam untuk membiayai pengembangan sumber kekuatan baru yaitu pengembangan kualitas manusia dan kualitas masyarakat melalui pendidikan.. Kekeliruan lainnya adalah anggapan seolah-olah kekayaan alam Indonesia ini hanya untuk generasi yang sekarang saja. Akibatnya, yang berkembang adalah semangat atau nafsu eksploitasi besar-besaran, tanpa mempedulikan konservasi atau pelestarian. Kita lupa bahwa kekayaan alam itu adalah titipan dari generasi yang akan datang, yang juga berhak mendapatkan kesejahteraan dari keberadaannya.
Di samping itu, ukuran keberhasilan pembangunan yang kita banggakan pun sebagian besar lebih bersifat fisik. Ukuran-ukuran non-fisisk seperti tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat dikesampingkan.
Menikmati Dapat Uang Tanpa Kerja.
Kebanggaan menjadi penghutang tanpa disadari telah menumbuhkan sikap hidup yang baru yaitu dapat uang tanpa kerja itu biasa atau wajar, dan bahkan kemudian menjadi perlu. Sikap ini menjadi salah satu bibit berkembangnya kebiasaan korupsi di Indonesia. Dana yang berasal dari hutang luar negeri yang disalurkan liwat lembaga-lembaga pemerintah telah menjadi sumber ’rejeki’ baru bagi birokrat yang berwenang untuk menggunakan dana tersebut. Selanjutanya, setiap penjabat berlomba lomba berusaha menciptakan proyek untuk dapat dibiayai dengan hutang luar negeri, karena setiap proyek berarti sumber peluang baru untuk ’mengutip cukai’ dari setiap transaksi yang terjadi. Labih buruk lagi, dalam masyarakat yang budaya kolektif seperti Indonesia kebiasaan korupsi berkembang dengan sangat cepat karena orang-orang korupsi bersama-sama dan mereka yang korupsi bersama kemudian saling melindungi. Bersamaan dengan sikap mengusung uang sebagai pusat segalanya, ukuran keberhasilan orang di masyarakatpun makin bergeser kearah banyaknya materi yang orang miliki tanpa mempersoalkan dari mana asal dan bagaimana cara seseorang mendapatkan materi tersebut. Ini menimbulkan sikap baru, yaitu tujuan menghalalkan cara.
Hanya Melihat di Permukaan
Semua orang mengetahui bahwa negara yang tingkat kesejahteraann rakyatnya tinggi adalah negara yang masyarakatnya secara umum berada di garis terdepan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara-negara ini memiliki tenaga kerja dengan kompetensi relatif tinggi. Inilah satu alasan, ketika Indonesia hendak meningkatkan kualitas tenaga kerjanya dan meningkatkan kemampuan menciptakan teknologi atau memanfaatkan teknologi, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kompetensi. Namun yang kurang dapat perhatian adalah faktor-faktor yang berada di bawah permukaan yang menjadi penggerak dan pendorong sehingga suatu masyarakat mencapai tingkat kompetensi yang tinggi atau menghasilkan produk atau jasa yang berbasis teknologi atau pengetahuan tinggi. Faktor-faktor di bawah permukaan ini mencakup semangat belajar yang tinggi, komitmen untuk mencapai yang terbaik, semangat untuk melakukan perbaikan terus menerus, keterbukaan terhadap kemungkinan-kemukinan terbaru, keberanian untuk mencoba hal-hal baru. Hal-hal yang disebutkan terakhir ini termasuk dalam kategori karakter, bukan kompetensi. Kompetensi membuat seseorang bisa melakukan suatu tugas dengan baik, namun karakterlah yang membuat dia bertekad mencapai yang terbaik dan selalu ingin lebih baik. Di pihak lain, orang-orang dengan kompetensi yang tinggi tanpa disertai dengan karakter yang baik dapat menjadi sumber masalah bagi lingkungannya, karena dengan kompetensinya yang tinggi orang yang bersangkutan bisa secara ’rasional’ mendistorsikan banyak hal. Seperti sebuah pepatah China menyatakan ’even the best scripture can be distorted by a bad monk’.
Hilangnya Musuh Bersama dan Kaburnya Cita-cita Bersama.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, rasa persatuan atau kohesivitas bangsa sangat kuat karena ketika itu musuh bersama rakyat Indonesia sangat jelas yaitu penjajah Belanda. Di samping itu, persatuan menjadi makin kuat karena cita-cita yang hendak dicapai bersama juga sangat jelas yaitu Indonesia Merdeka. Namun kedaaan menjadi berbeda sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Kohesivitas menurun karena kepentingan golongan menjadi menonjol di atas kepentingan bersama. Pemberontakan-demi pemberontakan yang mengancam kesatuan RI terjadi. Dalam masyarakat kolektif seperti masyarakat Indonesia, apabila tidak ada musuh bersama di luar kelompoknya , mereka akan mencari ’musuh’ di dalam kelompoknya sendiri. Inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong timbul permusuhan antar suku, antar kelompok agama dan antar daerah. Semangat ke-kita-an yang sangat kuat di masa lalu menjadi makin lemah dan bersamaan dengan itu semangat ke-kami-an menguat. Makin lemahnya kohesivitas bangsa juga disebabkan oleh makin kaburnya atau tidak adanya cita-cita bersama yang disepakati bersama yang dapat menggugah semua komponen bangsa untuk berjuang bersama dengan tidak mempersoalkan perbedaan yang ada diantara komponen yang bersangkutan. Tidak ada lagi yang namanya ’Indonesian Dream’ yang memberi inspirasi dan mengikat rakyat Indonesia untuk berjuang bersama.
Kesenjangan dan Ketimpangan.
Beberapa Kebijakan Pembangunan Ekonomi yang berlangsung selama tiga dekade, yang dimulai sejak akhir tahun 1960-an juga memunculkan beberapa sandungan dalam meningkatkan solidaritas bangsa. Pembangunan ekonomi melalui investasi yang terpusat di pulau Jawa telah mengakibatkan banyak daerah di luar Jawa merasa diabaikan dan kurang mendapat manfaat dari eksploitasi sumberdaya alam di daerahnya. Ini menimbulkan ketimpangan antar daerah. Di samping itu pembangunan ekonomi yang disertai dengan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme telah menyebabkan penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat Indonesia, khususnya yang dekat dengan pemegang kekuasaan. Kesenjangan antara kaya dan miskin makin besar. Ini menumbuhkan perasaan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak disertai dengan keadilan. Ini menjadi salah satu pemicu dari timbulnya konflik horizontal.
Penerapan Undang-undang Otonomi Daerah diharapkan dapat meningkatkan keberdayaan daerah. Namun otonomi ini telah juga membawa efek ikutan yang kurang diperhitungkan sebelumnya yaitu rasa keadaerahan yang sangat sempit, tribalisme dalam bentuk fanatisme putra daerah dan penjalaran yang sangat cepat kebiasaan korupsi dari Jakarta ke daerah-daerah.
4. PEMBANGUNAN KARAKTER DAN PEMBANGUNAN BANGSA :
DESKRIPSI SINGKAT
Pembangunan Karakter
Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’ [15]. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam ’Character Strength and Virtue’ [16], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar. Ada orang yang menyatakanan bahwa ’turis’ Indonesia yang bepergian ke Singapura atau Jepang akan berperilaku tertib di jalan raya atau di tempat-tempat umum, karena aturan yang sangat tegas dan keras di sana. Namun, saat pulang kembali ke Indonesia, mereka kembali pada kebiasaan lama, yaitu tidak peduli aturan lalu lintas. Jadi, perilaku tertib di Singapura atau Jepang bukan karakter orang-orang yang bersangkutan.
Proses pembangunan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut faktor bawaan (nature) dan oleh faktor-faktor lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Namun demikian perlu diingat, bahwa faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat untuk mempengaruhinya. Hal yang berada dalam pengaruh kita, sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam usaha pengembangan atau pembangunan karakter pada tataran individu dan masyarakat, fokus perhatian kita adalah pada faktor yang bisa kita pengaruhi , yaitu pada pembentukan lingkungan. Dalam pembentukan lingkungan inilah peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting, bahkan sangat sentral, karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi seseorang yang terbentuk melalui proses belajar, baik belajar secara formal maupun informal.
Bangsa dan Pembangunan Bangsa.
Secara hisitoris dan emosional berbagai kelompok etnis yang tinggal di ribuan pulau di wilayah Nusantara ini menjadi satu bangsa sejak 28 Oktober 1928, ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan. Bangsa Indonesia lahir karena ada perasaan senasib, karena adanya hasrat kuat untuk bersatu dan adanya cita-cita bersama. Kelompok etnis yang berbeda-beda memilih untuk bersatu menjadi satu bangsa secara sukarela. Sumpah Pemuda mempercepat penyatuan budaya melalui bahasa Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 mengantar bangsa Indonesia masuk ke dalam satu kesatuan legal/konstitusional dan kesatuan ideologi negara. Dengan berakhirnya pendudukan Belanda di Irian Barat, masyarakat Indonesia mengukuhkan posisinya sebagai sebuah bangsa yang menempati kesatuan wilayah geografi dari Sabang sampai Merauke. Indonesia menjadi sebuah negara-bangsa (nation state). Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan membangun negara-bangsa ini secara umum adalah untuk ’memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’ dan didasarkan atas lima prinsip yang dikenal dengan nama Panca Sila.
Pengalaman sejarah bangsa Indonesia selama ini menunjukkan bahwa menjaga kesamaan cita-cita dan rasa persatuan diantara kelompok masyarakat yang bhineka tidaklah mudah. Berbagai pemberontakan bersenjata yang mengancam kesatuan bangsa terjadi di bumi Indonesia. Demikian juga akhir-akhir ini konflik horizontal yang berdarah antar kelompok yang makan banyak korban jiwa mudah terjadi, seperti konflik di Ambon, Poso, dan Kalimantan Barat. Bersamaan dengan itu, kita merasakan bahwa Indonesia mulai ditinggalkan oleh negara-negara Asia yang merebut kemerdekaannya pada waktu yang hampir bersamaan atau mulai membangun bangsanya pada waktu yang hampir bersamaan. Indonesia sudah jauh ketinggalan dari Korea Selatan yang pada awal tahun 1960-an keadaan perekonomiannya relatif sama dengan Indonesia. Indonesia sudah jauh ketinggalan dari China, dan juga ketinggalan dari India. Malaysia yang memperoleh kemerdekaannya 12 tahun sesudah Indonesia pun sudah jauh berada di depan. Sekitar 15 tahun yang lalu, orang-orang membandingkan membandingkan kemajuan Indonesia dengan China dan India, sekarang, kemajuan Indonesia dibandingkan dengan Vietnam dan Bangladesh. Ini berarti bahwa selama lebih dari 60 tahun sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, masyarakat Indonesia masih harus belajar dan kerja keras untuk menghayati semangat kebangsaannya secara cerdas agar Indonesia tidak makin tertinggal dari negara-negara lain di dunia.
5. PEMBANGUNAN KARAKTER DARI PERSPEKTIF MENGUATKAN KEMAMPUAN INTEGRASI INTERNAL DAN ADAPTASI EKSTERNAL
Sebuah kelompok masyarakat, atau sebuah organisasi akan bisa bertahan hidup dan berkembang apabila kelompok atau organisasi tersebut memiliki dua kemampuan yaitu kemampuan integrasi internal dan kemampuan adaptasi eksternal. Kedua kemampuan tersebut perlu diperbarui terus menerus.
Kemampuan Integrasi Internal.
Kemampuan integrasi internal mencakup kemampuan suatu bangsa untuk membangun dan menjaga kohesivitas. Kohesivitas ini dimanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti kuatnya rasa persatuan, kemampuan untuk menemukan platform bersama ditengah-tengah perbedaan, kemampuan untuk bekerja sama secara kreatif, kemampuan untuk mengatasi perselisihan secara damai, rasa saling percaya antar kelompok , rasa saling menghormati diantara kelompok yang berbeda, kemampuan untuk mengedepankan kepentingan bersama yang lebih besar daripada kepentingan kelompok yang sempit.
Dengan adanya kohesivitas, suatu bansga menjadikan kebhinekaan sebagai sumber kekuatan, sumber kreativitas, bukan sumber masalah atau kelemahan. Denngan kohesivitas, suatu bangsa dapat melipat gandakan kekuatannya karena terbentuknya sinergi diantara kekuatan-kekuatan yang berbeda. Sebaliknya, hilangnya kohesivitas inilah yang menyebabkan bahkan sebuah negara adidaya yang sangat ditakuti dan disegani seperti Uni Soyet mengalami proses kehancuran.
Dalam perspektif integrasi internal ini, pembangunan karakter dan pembangunan bangsa adalah usaha sistematik untuk mengembangkan potensi kebajikan pada warga negara sebagai individu dan pada kelompok-kelompok masyarakat yang membuat kohesivitas bangsa terbangun dan terjaga.
Kemampuan Adaptasi Eksternal.
Kemampuan adaptasi eksternal mencakup kemampaun untuk mengantisipasi dan menanggapi secara cerdas perkembangan dan perubahan lingkungan sehingga suatu kelompok atau organisasi berada posisi yang relatif kuat dan mampu berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik untuk kesejahteraan umum . Kemampuan adaptasi ekstenal muncul dalam berbagai manifestasi, seperti: kemampuan untuk maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi setara dengan bangsa-bangsa lain, kemampuan untuk menegakkkan standar etika yang bersifat universal , kemampuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi.
Kemampuan adaptasi eksternal yang rendah akan menyebabkan suatu bangsa makin lama makin tertinggal dari bangsa lain. Indonesia sekarang menjurus ke keadaan seperti itu. Di atas telah disampaikan bahwa daya saing Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara lain, Rendahnya daya saing ini sangat terkait dengan tingginya tingkat korupsi di Indonesia, rendahnya effisiensi lembaga-lembaga pemerintah dan rendahnya tingkat kemampuan penguasaan teknologi tanaga kerja Indonesia.
Dilihat dari perspektif adaptasi eksternal, pembangunan karakter dan pembangunan bangsa adalah usaha sistematik untuk mengembangkan potensi kebajikan warga negara dan masyarakat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih berdaya saing dan lebih mampu berkontribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan dunia.
Pembaruan Kemampuan secara Terus Menerus.
Kemampuan integrasi internal dan adaptasi eksternal berkaitan satu dengan yang lain. Bangsa yang tidak mampu melakukan integrasi internal akan makin kecil kemampuannya untuk malakukan adaptasi eksternal. Kedua kemampuan itu perlu dipupuk dan diperbaharui secara terus menerus.
Pembaruan ini diperlukan karena lingkungan (politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi) berubah dan bergerak terus. Perubahan lingkungan ini membawa tantangan-tantangan baru, yang sering sekali tidak bisa diatasi dengan sikap dan cara-cara lama.
Pentingnya pembangunan karakter dan pembangunan bangsa yang disampaikan oleh Bung Karno sekitar setengah abad lalu didorong oleh kedaaan lingkungan atau tuntutan untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia pada saat itu. Sekarang kita berada di tengah keadaan dunia yang berbeda. Kita sekarang dalam dunia yang hampir tanpa batas . Sekat-sekat antar negara makin hilang. Kita sekarang berada di tengah-tengah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai sumber utama kesejahteraan. Dengan demikian, pembangunan karakter dan pembangunan bangsa sekrang ini perlu secara sadar memasukkan usaha-usaha yang meningkatkan kemampuan rakyat Indonesia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bekerja dengan standard etika dan standard kinerja internasional. Dengan demikian Indonesia akan punya kesempatan lebih besar menjadikan arus globalisasi yang makin meningkat ini sebagai sumber peluang untuk maju bersama-sama bangsa lain, dan memperkecil kemungkinan Indonesia menjadi korban globalisasi.
6. PERAN PERGURUAN TINGGI
Mahasiswa dalam Perjuangan Kemerdekaan.
Besarnya harapan terhadap perguruan tinggi dalam pembangunan karakter dan pembangunan bangsa tidak dapat dilepaskan dari peran para mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi dalam perjuangan kemerdekaan,
Mahasiswa Indonesia adalah motor dari munculnya gerakan kebangsaan di Indonesia pada awal abad ke-20. Bibit gerakan ini disemai di perguruan tinggi dan kemudian ditanam oleh Boedi Oetomo. Peran Wahidin Soedirohoesodo, seorang dokter pribumi dalam awal tumbuhnya gerakan kebangsaan perlu dicatat. Boleh dikatakan bahwa berdirinya Boedi Oetomo terjadi ’di luar rencana ’ Wahidin Soedirohoesodo.
Wahidin ketika itu yakin bahwa pendidikan moderen bersama dengan pendalaman budaya Jawa akan dapat membantu masyarakat mengatasi masalah kehidupan sehari-hari. Untuk memajukan pendidikan ini Wahidin kemudian berkeliling menemui pemuka masyarakat Jawa dan minta mereka menyumbangkan dana beasiswa untuk memajukan pendidikan bagi pribumi. Ternyata usaha dokter Wahidin mengumpulkan dana ini tidak berhasil. Namun di luar dugaan, gagasan Wahidin ini menggugah semangat beberapa mahasiswa Sekolah Dokter Bumiputra (STOVIA) di Batavia. Mereka kemudian mengusulkan untuk mendirikan organisasi yang lebih luas. Organisasi ini seyogyanya tidak hanya membantu pendidikan, tapi juga menyadarkan penduduk Jawa akan keutamaannya. Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, mahasiswa STOVIA berhasil mengumpulkan rekan-rekan mereka dari seluruh Jawa di Aula STOVIA di Batavia, untuk membentuk organisasi yang akan memperjuangkan cita-cita Wahidin. Mereka berusia antara 19-22 tahun. Maka lahirlah Boedi Oetomo dengan Soetomo sebagai ketua, dan Goenawan dan Soewarno sebagai sekretaris [17].
Di dalam organisasi sosial yang tadinya hanya mengutamakan perhatian pada masyarakat bumiputra di Jawa dan Madura muncul anggota yang menginginkan agar Boedi Oetomo tidak hanya beorientasi pada kemajuan bumi putra di Jawa, namun diperluas menjadi kemajuan ’Hindia’. Diantara mereka adalah Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat ( kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara). Mereka berdua dan E.F.E. Douwes Dekker mendirikan Indische Partij , pada 25 Desember 1912.[18]. Sebagai konsekuensi dari pendirian Indische Partij ini, pada tahun 1913 mereka bertiga dibuang ke negeri Belanda , sebagai hukuman yang dijatuhkan kepada mereka oleh pemerintah penjajah Belanda,
Di negeri Belanda, para mahasiswa Hindia di sana mendirikan Indische Vereeniging pada tanggal yang kemudian berubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indodesia) pada tanggal 19 Februari 1922 [19]. Dengan perhimpunan ini, mahasiswa Indonesia di negeri Belanda berjuang bersama.
Di Bandung, pada tahun 1920 didirikan Technische Hogeschool (THS) yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Tercatat sebagai salah seorang mahasiswanya adalah Soekarno. Soekarno dengan beberapa rekannya mengobarkan semangat kebangsaan dari Bandung. Aktivitas politiknya telah mengakibatkan Ir Soekarno dijatuhi hukuman oleh penjajah Belanda, dijebloskan ke penjara dan kemudian di buang ke Ende. Hukuman dalam bentuk pembuangan juga dikenakan terhadap aktivis perjuangan lain,; Mohammdad Hatta, Sjahrir dan Maskoen Soemadiredja; mereka dibuang ke Boven Digul.
Dari perguruan tinggi yang jumlahnya sedikit sudah tumbuh banyak mahasiswa yang militan. Perguruan tinggi telah membuka peluang bagi pemuda Infonesia waktu itu untuk menimba pengetahuan yang tinggi dan luas setara dengan mahasiswa Belanda . Ini telah menimbulkan kepercayaan diri bahwa mereka tidak kalah dari orang asing yang menjajah. Di samping itu mereka juga mendapat kesempatan untuk memahami cara melawan penjajah dengan cara-cara moderen. Para mahasiswa melawan penjajah tidak dengan kekuatan fisik – seperti yang dilakukan para pejuang sebelumnya- namun dengan kecerdasan dan dengan organisasi modereren dalam bentuk partai, suatu oragnisasi yang belum pernah ada sebelumnya di Hindia. Mereka berjuang dengan membangun dan menguatkan kesadaran, kecerdasan, dan keyakinan rakyat Indonesia. Dan ini mereka lakukan melalui pendidikan , dan kegiatan pendidikan lebih banyak dilakukan di luar bangku sekolah. Pengelola STOVIA, THS dan perguruan tinggi di Negeri Belanda tempat para aktivis mahasiswa Indonesia belajar telah berkontribusi besar dengan cara membiarkan para mahasiswa melakukan kegiatan politiknya.
Sebagian besar para mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi yang berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan kemudian meneruskan komitmen mereka untuk membangun Indonesia sesudah proklamasi kemerdekaan. Pengalaman menunjukkan bahwa menjaga kohesivitas bangsa sesudah proklamasi ternyata lebih sulit, dan membangun kesejahteraan umum yang berkeadilan seperti yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 ternyata banyak sekali tantangannya. Generasi Soekarno-Hatta sudah memberikan yang terbaik yang mereka bisa berikan kepada tanah air Indonesia. Mereka meninggalkan ’pekerjaan rumah’ yang harus dikerjakan oleh generasi berikutnya.
Peran Strategik Perguruan Tinggi Kini.
Enam puluh tiga tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan posisi Indonesia di tengah-tengah bangsa lain di dunia tidak secerah yang diharapkan. Di masa lalu, pemerintah Indonesia pernah memeprcepat laju pembangunan ekonomi dengan mengandalkan hutang luar negeri. Namun pembangunan ekonomi yang digerogoti oleh merebaknya penyakit KKN bermuara pada krisis besar tahun 1997. Indonesia mulai dari bawah lagi. Krisis besar ini telah mengakibatkan posisi Indonesia relatif mundur dibandingkan dengan negara negara lain di Asia. Walaupun krisis tersebut berwujud krisis ekonomi, politik dan sosial, saya mengganggap bahwa akar dari krisis besar tersebut adalah krisis karakter. Pelajaran yang sederhana dari krisis besar tersebut adalah bahwa tidak ada ekonomi yang benar-benar kuat bisa dibangun di atas sistem yang korup, dan tidak ada kesejahteraan yang berkelanjutan yang bisa diraih dengan menadahkan tangan pada orang lain, tanpa kerja keras.
Untuk memperkecil kemungkinan terjebak ke dalam krisis yang serupa di masa yang kan datang, Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali bergegas membangun basis kesejahteraan yang kuat, yaitu masyarakat yang cerdas, masyarakat yang berkarakter kuat, masyarakat yang kohesif dalam kebhinekaan, dan lembaga-lembaga pemerintahan yang bersih serta efisien. Basis kuat ini, khususnya masyarakat cerdas, berkarakter dan kohesif, terbentuk dan terakumulasi melalui pendidikan.
Pendidikan untuk menghasilkan manusia cerdas dan berkarakter memang tidak hanya menjadi tugas perguruan tinggi. Namun demikian, perguruan tinggi punya posisi strategik yang berbeda dari lembaga pendidikan lain. Posisi startegiuk tersebut antara lain:
a. Lulusasn perguruan tinggi ( sekurang-kurangnya sebagaian besar) akan menjadi anggota dari kelas menengah Indonesia. Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, kelas menengah memegang peran sentral dalam pembangunan. Kelas menengah yang bermutu akan menghasilkan kemajuan pembangunan yang bermutu.
b. Perguruan Tinggi adalah tempat pesemaian calon pemimpin di semua sektor . Posisi kekepimpinan secara umum akan menimbulkan multiplier effect yang besar pada lingkungan yang dipimpinnya. Perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan yang bermutu akan membawa dampak positif pada masyarakat di lingkungannya.
c. Dalam era ekonomi pengetahuan sekarang ini, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sumber utama kesejahteraan suatu bangsa. Masyarakat akademik di perguruan tinggi dan para lulusan perguruan tinggi adalah kelompok masyarakat yang potensinya paling besar untuk menguasai sumber kesejahteraan tersebut.
d. Perguruan tinggi umum ( yang tidak memusatkan diri pada studi keagaamman tertentu) adalah lembaga pendidikan yang komunitasnya paling majemuk baik dari segi golongan, kelompok etnis, maupun agama. Sebab itu perguruan tinggi dapat menjadikan kemajemukan ini sebagai kesempatan untuk mewujudkan semangat ’Bhineka Tunggal Ika’ seperti yang dinyatakan dalam lambang negara Garuda Panca Sila dalam kenyataan hidup sehari-hari. Perguruan tinggi dapat menjadi model Indonesia yang mengedepankan semangat ke-kita-an di tengah-tengah kebhinekaan. Perguruan tinggi dapat menjadi lembaga yang dapat dijadikan contoh yang menunjukkan bahwa primordialisme bukan sebuah masalah dalam semua tindak tanduk masyarakatnya.
e. Mutu perguruan tinggi mempengaruhi mutu pendidikan pada strata di bawahnya. Para guru dan kepala sekolah di sekolah menegah, sekolah dasar dan taman kanak-kanak pada umumnya lulusan perguruan inggi. Mutu guru dan kepala sekolah ini sangat menentukan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah.
7. HAL-HAL YANG PERLU DILAKUKAN
Mencermati Perbedaan Antara Pendidikan dan Pelatihan.
Pengelola lembaga pendidikan dan para pengajar perlu memahami perbedaan pengertaian antara pendidikan dan pelatihan. Kekaburan pengertian ini sering mengakibatkan program-program yang pada awalnya dimaksudkan sebagai program pendidikan kemudian tereduksi menjadi hanya kegiatan pelatihan. Secara umum, program pelatihan memusatkan perhatian pada peningkatan keterampilan, baik keterampilan fisik maupun keterampilan berpikir, para peserta program. Di pihak lain, pendidikan menjangkau pengembangan atau perubahan hal-hal yang lebih dalam, termasuk di dalamnya pengembangan atau perubahan kesadaran, cara pandang/paradigma/mental-model, perubahan keyakinan, nilai-nilai, sikap, kebiasaan, dan kemampuan.
Pengembangan karakter pada dasarnya adalah pendidikan,. Namun demikian dalam praktek. kegiatan ppendidikan dan pelatihan sering kali berjalan bersamaan. Seorang pendidik yang cerdas dapat memanfaatkan pelatihan sebagai batu loncatan untuk melakukan pendidikan.
Melihat Perguruan Tinggi sebagai Komunitas, Bukan Sebagai Pabrik
Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau memperlakukan sebuah perguruan tinggi sebagai sebuah pabrik. Para mahasiswa dipandang hanya sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-mesin’ yang bernama dosen yang bekerja menurut sebuah program produksi yang namanya kurikulum. Out-put dari pabrik ini adalah lulusan yang ukuran kualitasnya adalah Indeks Prestasi.
Apabila perguruan tinggi hendak dijadikan sebagai lingkungan belajar yang memudahkan dan mendorong para mahasiswa mengembangkan karakter, maka cara pandang bahwa perguruan tinggi sebagai sebuah pabrik perlu dicermati kembali. Cara pandang ini adalah peninggalan dari konsep sekolah yang lahir sekitar 400 tahun yang lalu, pada awal revolusi industri [20]. Cara pandang dan praktek yang perlu dikembangkan adalah sekolah sebagai komunitas atau lebih spesifik komunitas belajar. Dalam konsep komunitas ini, mahasiswa bukanlah bahan baku namun mereka adalah anggota komunitas yang memiliki peran dan tanggung jawab, dan para dosen bukan kumpulan mesin-mesin namun anggota komunitas yang bermartabat .
Dalam sebuah komunitas interaksi antar anggota menjadi sangat penting dan proses interaksi yang efektif akan sangat membantu para anggota untuk tumbuh dan berkembang bersama. Dalam sebuah komunitas, para anggota terdorong untuk bertanya atau memikirkan tentang ‘jati diri’ nya atau dengan kata lain mencoba merumuskan ’siapa dia’ di tengah-tengah anggota komunitas lainnya.
Perilaku Komunitas Kampus yang Dihela Tata-Nilai
Untuk menghasilkan lulusan yang berkatrakter, pergaulan komunitas akademik dan manajemen pergutrauan tinggi harus juga dijiwai dan dihela oleh tata-nilai luhur yang menjadi acuan dalam mengembangkan karakter. Ini berarti suatu perguruan tinggi perlu memunculkan dengan jelas prisnsip luhur apa yang dianutnya dalam interaksi di dalam komunitasnya maupun dalam interaksinya dengan pihak luar. Tata-nilai ini menjadi dasar dari etika komunitas. Apabila pendidikan membangun karakter dindaikan sebagai upaya menyalakan obor kebajikan di hati setiap mahasiswa, maka obor perguruan tinggi itu sendiri, dalam bentuk penghayatan terhadap tata-nilai yang luhur, harus menyala, Seseorang tidak bisa menyalakan obor orang lain dengan obor yang padam. Dewasa ini, saya berharap bahwa pergaulan dalam komunitas yang dihela tata-nilai dapat membantu para mahasiswa unyuk mengembangkan kekuatan karakter yang sangat diperlukan oleh Indonesia, yaitu: kejujuran, optimisme, kreativitas, apresiasi terhadap kebhinekaan, semangat belajar, semangat kerja, dan rasa tanggung jawab sosial.
Investasi pada Peningkatan Mutu Guru .
Tidak ada pendidkan yang bermutu tanpa guru yang bermutu. Guru di sini mencakup pengajar pada semua jenjang pendidikan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Mengharapkan perbaikan mutu pendidikan tanpa perbaikan mutu guru adalah sebuah ilusi.
Kalau Indonesia ingin melakukan ‘turn around’ dalam bidang pendidikan, maka negara ini perlu segera mulai melakukan investasi besar-besaran dalam peningkatan mutu para guru. Posisi guru hendaknya dikembalikan sebagai ujung tombak dan pelaku utama dalam peningkatan mutu pendidikan,. Kesejahteraan guru memang isu besar, namun peningkatan kesejahteraan hendaknya dijadikan bagian yang tidak terpisah dari peningkatan mutu guru.
Dalam hal ini Indonesia bisa mencermati pengalaman RRC. Reformasi pendidikan di RRC pada akhir abad 20 menempatkan perbaikan mutu guru sebagai prioritas utama. Perubahan perundangan-undanagn dan kebijakan dibuat sedemikian rupa sehingga profesi sebagai guru menjadi suatu profesi yang membuat iri profesi-profesi lain ( make teaching an enviable profession) [21].
Perguruan Tinggi sebagai Pusat Pengembangan Kebudayaan.
Sebagai pusat studi dan pengembangan kebudayaan perguruan tinggi dapat menjalankan beberapa fungsi berikut:
- Memahami kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang di wilayah Nusantara.
- Mengembangkan undur-unsur kebudayaan Nusantara ini , termasuk kearifan lokal, yang dapat dijadikan bagian dari kekuatan bangsa menghadapi tantangan dunia baru
- Memperkenalkan bagian-bagian dari kebudayaan di wilayah Nusantara ke pergaulan budaya internasional sehingga menjadi bagian dari kekayaan kebudayaan dunia
- Melakukan dialog dengan kebudayaan yang berasal dari bagian dunia yang lain dalam rangka memperkaya dan menguatkan budaya nusantara.
Dalam perspektif ini maka memisahkan pendidikan dan kebudayaan tidak sejalan dengan harapan agar perguruan tinggi menjadi lembaga yang berperan aktif dalam pembangunan karakter dan pembangunan bangsa. Pendidikan dan kebudayaan merupakan dua dimensi kehidupan manusia yang tak terpisahkan.
Di pihak lain, masyarakat perguruan tinggi atau unsur-unsurnya hendaknya jangan sampai,secara sadar atau tidak sadar, menjadi agen yang menganjurkan atau mendorong masyarakat Indonesia, karena kurangnya pengetahuan mereka, masuk dalam posisi subordinasi budaya terhadap budaya yang berasal dari luar.
Lebih Memperhatikan Iklim dan Proses Pembelajaran.
Sebagian besar perhatian dalam meningkatkan mutu pendidikan sekarang ini berpusat pada perubahan isi kurikulum. Sedikit sekali perhatian diberikan pada pengembangan iklim pembelajaran dan proses pembelajaran. Usaha untuk meningkatkan peran perguruan tinggi dalam pembangunan karakter dan pembangunan bangsa hendaknya tidak dilakukan dengan membuat suatu mata kuliah tertentu atau suatu penataran tertentu seperti P4, namun lebih memusatkan perhatian pada pengembangan iklim dan proses pembelajaran yang memberi inspirasi dan yang menggugah para mahasiswa untuk mengembangkan cita-cita dan sikap hidup positif. Melalui proses dan iklim pembelajaran inilah nilai-nilai positif dikomunikasikan secara implisit, melalui pencerahan, melalui perenungan dan melalui perbuatan. Dalam hal ini perguruan tinggi dapat memanfaatkan secara optimal proses belajar melalui kegiatan ekstra kurikuler. Dalam kegiatan ekstra kurikuler, para mahasiswa dapat mengasah diri dan saling mengasah dengan sejawat.. Mereka dapat mengembangkan kemampuan memimpin, mengembangkan kepercayaan diri, menghargai kebhinekaan, bersikap fair atau ‘sportif’, mengembangkan integritas, belajar berbagi, belajar peduli, dan belajar mengambil tanggung jawab atas inisiatif sendiri.
Menggugah Kesadaran dan Rasa Tanggung Jawab Sosial.
Meningkatkan peran perguruan tinggi dalam pembangunan karakter dan pembangunan bangsa sekarang ini tidak bisa lagi dilakukan dengan indoktrinasi, namun dibangun di atas kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial yang tulus (genuine). Kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial ini dikemnbangkan dengan memperkaya proses pembelajaran dengan pengetahuan kontekstual. Dengan pengetahuan kontekstual ini, pengetahuan yang dipelajari menjadi lebih punya makna. Dalam kaitannya dengan pembangunan karakter, pengetahuan kontekstual tersebut diharapkan dapat, sekurang-kurangnya, membangun kesadaran berikut:
- Kesadaran tentang tantangan-tantangan besar yangakan dihadapi generasi yang akan datang apabila sumberdaya alam Indonesia yang tak terbarukan sudah habis terkuras.
- Kesadaran tentang pentingnya bertumbuh-kembang bersama dalam kebhinekaan; kesadan bahwa kita tidak bisa maju dengan mengobarkan perpecahan dan permusushan diantara sesama bangsa kita sendiri.
- Kesadaran tentang pentingnya menguasai pengetahuan dan teknologi, serta pentingnya kerja keras, kerja cerdas, jujur dan etikal untuk mencapai kemajuan.
- Kesadaran tentang pentingnya berkontribusi. Republik Indonesia terbentuk karena di masa lalu sangat banyak putra-putri Indonesia yang bersedia berkontribusi, dan kontribusi itu bahkan dalam bentuk pengorbanan jiwa. Kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia sekarang dan di masa depan hanya akan terjadi apabila setiap warganya berkontribusi, bukan menggerogoti dengan cara mengambil yang bukan haknya.
- Kesadaran dan pengertaian bahwa belajar di perguruan tinggi punya arti luas. Tujuannya tidak hanya menyelesaikan kuliah namun juga menyiapkan diri agar nanti bisa berkontribusi untuk kemajuann dan kebaikan masyarakat luas,
- Kesadaran bahwa tidak ada bangsa atau orang yang bisa membangun martabatnya dengan menadahkan tangan kepada bangsa atau orang lain.
- Kesadaran dan keyakinan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekuatan dan kebaikan untuk keluar dari hal-hal negatif yang dialaminya sekarang, seperti halnya negara-negara tetangga kita bisa melakukan hal itu.
8. MENENGOK KEMBALI POSISI ITB
Menapak Torehan Sejarah
Realita bahwa Ir. Soekarno, pejuang kemerdekaan, Proklamator Kemerdekaan dan President R.I pertama adalah alumnus THS, membuat ITB sering diasosiasikan sebagai sebuah kampus yang perannya sangat besar dalam menyiapkan generasi muda untuk melakukan perubahan sosial. Asosiasi ini secara implisit mencerminkan juga besarnya harapan masyarakat terhadap kontribusi ITB dalam perubahan Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. Keterlibatan mahasiswa dan sejumlah staf akademik ITB dalam peristiwa yang membawa perubahan sosial besar di Indonesia-seperti pada tahun 1966 dan tahun 1998- membuat harapan itu masih tetap berlangsung. Apabila harapan ini diperhatikan maka dalam persepektif pembangunan karakter dan pembangunan bangsa ITB seharusnya selalu berada di garis terdepan diantara perguruan tinggi lain di Indonesia. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini ketika Indonesia makin tertinggal dari negara tetangga dalam banyak hal, maka masyarakat akan makin mengharapkan peran besar dari lembaga pendidikan tinggi teknik tertua di Indonesia ini . Justru akan terasa ganjil apabila dalam ichtiar-ichtiar ITB tidak terasa denyut atau getaran pembangunan karakter dan pembangungan bangsa.
Secara formal dan eksplisit hasrat untuk berperan besar ini dinyatakan dalam visi ITB yaitu ‘ITB menjadi lembaga pendidikan tinggi dan pusat pengembangan sains, teknologi dan seni yang unggul, handal dan bermartabat di dunia, yang bersama dengan lembaga terkemuka bangsa menghantarkan masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat dan sejahtera’ [22]. Ini merupakan cita-cita yang sangat tinggi dan mulia, dan seyogyanya memang demikian ..
Tantangannya bagi ITB sekarang ini adalah melakukan ichtiar nyata agar semangat dari cita-cita yang mulia tersebut merasuk atau tercemin dalam semua aspek kehidupan komunitas akademik ITB baik dalam kampus maupun dalam hubungannya dengan pihak-pihak lain di luar kampus. Mewujudkan cita-cita mulia memerlukan komitmen yang sangat kuat terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya ( unggul, handal, bermartabat ), dan pada saat yang sama diperlukan kewaspadaan yang tinggi pada civitas akademika agar dalam melakukan kegiatan-kegiatannya ITB sebagai lembaga atau komunitas tidak melanggar tata-nilai tersebut. Artinya, civitas akademika ITB perlu mengawal agar ITB tidak terlibat dalam atau melakukan hal-hal yang bisa dikategorikan tidak unggul, tidak handal dan tidak bermartabat.
ITB yang Ada di Pikiran Saya
Tanpa mengurangi penghargaan terhadap perguruan tinggi lain, saya mendaftar menjadi mahasiswa ITB dan kemudian bergabung menjadi dosen ITB karena dalam pandangan saya ITB bukan perguruan tinggi biasa-biasa saja. Bagi saya ITB adalah perguruan tinggi khusus. Lembaga ini istimewa, karena dalam pikiran saya ITB adalah perguruan tinggi yang menjunjung tinggi empat nilai utama yaitu: kepeloporan, kejuangan, pengabdian dan keunggulan. Interpretasi saya mengenai empat nilai ini sangat sederhana: ITB adalah komunitas inovatif yang selalu berani mencoba hal-hal baru dan berusaha berada di garis depan dalam arus kemajuan; ITB adalah komunitas yang berani berkorban untuk mencapai cita-cita yang mulia; ITB adalah komunitas yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara dan bangga melayani kebutuhan tersebut; ITB adalah komunitas yang senantiasa berichtiar memberi yang terbaik dan mencapai yang terbaik untuk kemajuan bangsa, ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan.
Nilai-nilai tersebut (seharusnya) mewarnai setiap interaksi ITB dengan lingkungannya, termasuk dengan masyarakat luas, masyarakat bisnis, lembaga pemerintah, dan masyarakat ilmu pengetahuan. Dalam pikiran saya, untuk menjaga empat nilai atau semangat di atas, komunitas ITB mendisiplin dirinya secara internal dengan dua prinsip, yaitu integritas dan kualitas. Ini berarti , komunitas ITB ( seharusnya) adalah komunitas yang tidak akan melakukan tawar menawar dalam hal integritas, dengan kejujuran sebagai intinya, dan dalam hal kualitas.
Sebagai bagian dari komuntas ITB saya menyaksikan bahwa memegang teguh nilai-nilai tersebut tidak mudah, memerlukan keberanian dan kekuatan. Namun demikian, justru di sinilah letak tantangannya. Keteguhan menghadapi tantangan ini yang akan menunjukkan keistimewaan institut ini. Seperti dinyatakan oleh Kenneth Blanchard ‘ if you are always confronted with easy life, you don’t build character’ [23].
Bagi saya ITB adalah model masyarakat Indonesia yang tumbuh dan berkembang bersama dalam kebhinekaan. Para mahasiswa bergaul tanpa dibatasi oleh atribut etnis maupun agama. Tidak ada eksklusifitas. Tidak ada diskriminasi. Mahasiswanya dari seluruh Indonesia, dari kota besar, kota kecil dan desa. Mahasiswa yang berasal dari keluarga yang relatif berada dan yang berasal dari keluarga yang kurang mampu bergaul tanpa jarak. Semangat ke-kita-an mengatasi ke-kami-an. Demikianlah keadaan yang saya temukan sebagai mahasiswa ITB pada awal tahun 1960-an. Saya bangga menjadi bagian dari komunitas yang dewasa dan maju seperti itu. Komunitas kampus seperti itu sampai sekarang tetap menjadi idaman saya .
Pentingnya Peran Alumni
Melakukan sebaik-sebaiknya Tri Dharma Perguruan Tinggi ( pendidikan, penelitian, dan pengabdiaan kepada masyarakat) oleh civitas akademika hanya sebagian saja dari upaya ITB untuk berkontribusi dalam pembangunan karakter dan pembangunan bangsa. Kontribusi yang sangat besar justru dapat ditunjukkan oleh kontribusi para alumni melalui berbagai profesi yang mereka geluti, apakah mereka menjadi pengusaha, menjadi penggiat LSM, menjadi karyawan perusahaan, peneliti, pendidik, seniman, atau pegawai pemerintah.
Sumbangan ITB bagi bangsa dan negara juga akan dilihat dari karya-karya para alumninya dan norma-norma yang mereka hayati dalam mewujudkan karya-karya tersebut. Saya garis bawahi pentingnya norma etikal dalam mencapai hasil atau mewujudkan karya, karena apabila keluarga besar ITB tidak waspada dalam hal ini, ‘ nila setitik bisa merusak susu sebelanga.’
Saya yakin bahwa kontribusi keluarga besar ITB bagi kemajuan bangsa bisa ditingkatkan dengan membangun sinergi yang lebih besar antara masyarakat kampus dan para alumni. Untuk itu, hubungan antara masyarakat alumni di luar kampus dan masyarakat kampus perlu dibingkai ulang (reframe). Selama ini, saya melihat bahwa dalam rangka mewujudkan visi ITB, masyarakat alumni yang di luar kampus posisinya berada di peripheral atau di lingkaran pinggir. Mereka dilibatkan hanya sewaktu-waktu apabila diperlukan. Saya menyarankan, di masa depan, dalam bingkai hubungan yang baru, masyarakat alumni menjadi bagian dari lingkaran dalam, dalam arti alumni benar-benar menjadi mitra strategik masyarakat akademik ITB dalam meningkatkan kontribusi ITB untuk kemajuan bangsa. Para alumni ini jugalah yang mewujudkan nilai-nilai kepeloporan, kejuangan, pengabdian dan keunggulan dalam profesi mereka masing-masing di tengah-tengah masyarakat dimanapun mereka berada.
9. PENUTUP
Mengingatkan kembali peran perguruan tinggi dalam pembangunan karakter dan pembangunan bangsa dapat dilihat sebagai upaya untuk menyalakan api idealisme di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Idealisme ini sangat penting ditinjau dari beberapa hal:
Pertama, sebagian besar perubahan-perubahan besar dalam peradaban manusia beberapa ribu tahun terkahir ini dihela oleh idealisme; di sini idealisme diartikan sebagai cita-cita yang tinggi dan luhur.
Kedua, tidak ada bangsa yang bisa maju tanpa digerakkan oleh idealisme, walaupun bentuk idealisme itu mungkin berbeda-beda diantara bangsa-bangsa.
Ketiga, idealisme membuat usaha-usaha yang dilakukan bersifat manusiawi, sebab di muka bumi ini hanya manusialah yang punya idealisme.
Keempat, idealisme membuat usaha-usaha yang dilakukan menjadi bermakna, dalam arti usaha tersebut dirasakan sebagai ichtiar tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk membawa kebaikan bagi masyarakat luas.
Di sisi lain, usaha untuk meningkatkan peran perguruan tinggi dalam pembangunan karakter dan pembangunan bangsa adalah salah satu upaya untuk mendekatkan dunia pendidikan dengan kehidupan. Dengan demikian mudah-mudahan perguruan tinggi di Indonesia benar-benar dapat menjadi pelopor yang menghantarkan masyrakat di persada Nusantara ini menjadi masyarakat yang maju, adil, sejahtera dan bermartabat.Sumber :
(http://www.mgb.itb.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=53&Itemid=47...%20-%20116k)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar